Phoenix Library

Just Blogger Templates

Selasa, 16 Juli 2013

My First Love Part 1


“Tendangan jarak jauh Tsubasa... hiaaaa!” teriak keponakanku yang lagi sibuk dengan bolanya dilapangan depan rumah. Keringatnya mengalir dipipinya, kelihatannya dia sangat menikmati permainannya. Kak Roni menurunkan hobinya ke anaknya. Mereka bermain dengan gembira, sesekali terdengar mereka cekikikan berdua. Ternyata, kakakku bisa jadi ayah yang baik.
Akhir-akhir ini bola semakin banyak digemari, sindrom gila bola yang merasuki jiwa-jiwa manusa... hehehe, seram amat! Keponakanku yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar tak terlewatkan oleh jangkitan sindrom ini. Sebenarnya, aku juga menyukainya. Aku jadi teringat kenangan kecil waktu SD. Tendangan Tsubasa. Mengingatnya membuatku senyum-sendiri. Bagaimana tidak, tendangan Tsubasa menjadi tendangan andalanku ketika main bola dilapangan depan sekolahku. Waktu kecil aku ikut nenek dan disekolahkan di kampung halaman ayah. Sebuah dusun kecil yang sangat indah, jauh dari hingar-bingar perkotaan dan kental akan persaudaraan. Agak aneh kedengarannya seorang anak perempuan bermain bola, tapi kenyataannya seperti itu.
Sebenarnya aku bukan orang yang suka pada bola. Tapi keadaan yang memaksaku untuk menyukainya. Dikelasku, dari duabelas orang siswa hanya tiga orang perempuan, termasuk aku. Dan anehnya aku lebih akrab dan nyaman dengan teman-teman laki-lakiku. Sebenarnya sih alasannya sangat jelas, arah rumah dua orang teman perempuanku sama, mereka tinggal disebelah kampungku, sedangkan rumahku dan yang lainnya searah. Kami lebih sering main bersama, bahkan kesekolah dan pulang sekolah pun kami selalu bersama. Alhasil, ketika mereka main bola, aku juga ikut main bersama mereka. Kalau sekolah sudah berakhir kami dilrang main bola disekolah, katanya kami ditakutkan merusak perangkat sekolah karena tidak diwasi oleh guru-guru. Lapangan bola yang ada diujung kampungku menjadi tempat fovorite kami disore hari. Lapangan yang banyak menyimpan kenangan dengan mereka, teman-temanku dan juga dia... Yuda.


Yuda bukan teman sekolahku, dia anak sekolah saingan kami. Kifli yang saat itu adalah ketua kelasku paling sering bertengkar dengannya. Alasannya, dia sangat kurang ajar pada kami. Sebenarnya, dia yang selalu mencari masalah dengan kami. Kami selalu bertengkar gara-gara lapangan bola. Biasanya, kami lebih dulu yang main dilapangan itu tapi dia dan teman-temannya pasti berusaha merebutnya. Bahkan, pernah waktu itu dia menangkap bola kami dan membuangnya dikali, saking jengkelnya, Kifli meempar Yuda dengan batu. Akhirnya, itulah hari terakhir kami main bola dilapanga itu. Mama Kifli yang juga sebagai wali kelas kami disekolah selalu mengontrol kami, kami dibiarkan main bola sepuasnya dilapangan sekolah.
“Ria! bantuin kakak dulu... main sama Farel ya! Kakak mau ke toilet dulu” teriakan Kak Roni membuyarkan lamunanku.
“Tante, ayo tendang bolanya...” Rengek Farel sambil menatap bola yang tepat ada didepan kakiku.
“Ayoo...” ucapku sambil menendang bola kearahnya. Menemani Farel bermain membuatku cukup menikmati kembali masa kanak-kanak yang telah jauh terlewatkan. Kalau saja bisa, aku ingin kembali ke masa-masa itu dan mencatat semua kenangan yang pernah kujalani. Aku sangat merindukan masa-masa itu. Masa ketika aku bertemu dengan Yuda tanpa pengetahuan teman-temanku.
Waktu itu aku ikut Mama kerumah temannya, Tante Linda. Aku cukup akrab dengan anak Tante Linda, namanya Putri. Ternyata Putri adalah teman sekelas Yuda dan Tante Linda adalah wali kelasnya. Hari itu Yuda main kerumah Putri. Sebenarnya aku tidak ingin berteman dengannya, karena bagiku dia masih musuh kami. Tapi, jiwa anak-anakku masih sangat bersih, dendam sekecil apapun sudah tidak terlintas dipikiranku. Karena melihat mereka asyik bermain kelereng, aku ikut bergabung dengan mereka. Mungkin saat itu adalah moment yang sangat membekas dihatiku. Memoriku menyimpannya dengan baik. Aku sangat akrab dengannya hanya dalam sekejap. Bahkan ketika ingin meninggalkan rumah Putri, aku hampir menangis. Yang ada dalam pikiranku saat itu, aku tidak akan pernah lagi bermain dengannya sebebas ini. Tanpa ada tekanan dari teman-temanku.
“Udah ya... Tante udah capek, Farel juga udah keringatan”
“Ahhh... Nggak mau, Farel belum capek”
“Farel mandi aja dulu, lagian kan udah sore, mainnya besok lagi ya”
“Nggak mau!”
“Kak Roni... mandiin Farel tuh...” Teriakku kearah Kak Roni yang lagi duduk santai tak jauh dari kami.
Aku berlari kedalam rumah, dan cepat menuju kamar mandi. Badan lengket dan gerah yang luar biasa. Baginilah jadinya kalau lari-larian dengan anak kecil yang tidak tau arti capek. Tapi ada rasa puas tersendiri didalam hatiku, aku menikmatinya. Makasih Farel... ucapku dalam hati.
***
Sebagai mahasiswa baru, mengumpulkan tugas tepat waktu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Aku terlambat bangun hari ini, semalam kayaknya tidurku terlalu nyenyak. Dosen Syntax, yang super killer pasti akan menyemburku dengan sajaknya yang super pedas. Tugas Syntax yang kukerja mati-matian dari minggu lalu harus dikumpul pagi ini pukul 08.00 teng! Jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 07.45 dan sekarang aku baru berangkat. Perjalanan ke kampusku hanya memakan waktu 10 menit saja, tapi ruangan dosen yang ada dilantai 6 tanpa lift.
Aku berlari menaiki tangga secepat mungkin. Oh God ! help me. Kalau saja aku superhero, aku pasti bisa tiba diruangan Pak Heru ontime tapi, aku bukan superhero. Aku berdiri mematung didepan pintu ruangan Pak Heru, mengatur nafasku. Kuhirup nafas dalam-dalam, dan kuketuk pintunya.
“Good morning, Sir!” ucapku dengan lembutnya.
“Morning!” ucapnya sambil menatapku sampai-sampai kacamatanya melorot. Bukan lagi bertengger didepan matanya tapi sudah menghiasi hidungnya. Fungsi kacamatnya tidak lagi efisien. Aku cuma tersenyum dalam hati.
“Ini sudah terlambat!” katanya ketika aku menyodorkan tugasku dimejanya.
“Kalian harus belajar disiplin, lihat orang-orang yang berhasil. Mereka tidak akan berhasil seperti itu tanpa disiplin. Kalian belajar.....@#$%^&*())*&^%$$ bla.... bla...bla...” Omelan Pak Heru menjadi santapan nikmatku hari ini. Tapi sebenarnya, apa yang dia katakan tidak ada salahnya, semua demi kebaikanku juga. Tapi semua apa yang dikatakannya sudah aku hapal dengan baik. Setiap kali dikelas, saat mahasiswanya terlambat pasti dia mengumandangkan syairnya itu. Tapi salahku juga sih... seandainya aku tidak terlambat mungkin sarapan pagiku kali ini bisa lebih baik.
“Begini saja... kalian berdua harus merangkum buku ini...” lanjut Pak Heru sambil menyodorkan buku setebal ratusan lembar kepadaku.
“Berdua...????”
“Ya... kalian berdua!”
Aku menoleh kesamping kiriku. Saking tergesa-gesanya aku tidak memperhatikan sekelilingku. Ternyata, sebelum aku datang sudah ada mahasiswa lain yang terlambat mengumpulkan tugasnya. Cowok tinggi yang berdiri disampingku dari tadi hanya manggut-manggut mendengarkan ceramah Pak Heru. Tampangnya lumayanlah... hehehe... genit ya kedengarannya.
“Bapak kasi waktu dua minggu untuk kalian kerjakan. Bapak tidak mau melihat kalian menghadap disini lagi karena terlambat mengumpulkan tugas, kalau kalian sampai terlambat lagi, Bapak tunggu kalian tahun depan saja” Ucapnya dengan ekspresi khasnya, mata terbelalak, “kalian boleh keluar sekarang!”
Langkahku serasa berat, tugas yang kukerjakan dengan sepenuh hati akhirnya hanya menjadi koleksi pribadiku saja. Ditambah buku yang sekarang berada dalam genggamanku, yang tebalnya mimta ampun! Yang benar saja... cuma dua minggu dan harus merangkum 980 halaman ? mana bukunya English full. Sial banget aku hari ine... Ria... Ria... makanya jangan bagun telat. Omelku dalam hati.
“Kelas apa?”
“Eh...Oh... kelas II E...” jawabku. Aku sampai lupa aku lagi jalan dengan cowok tadi. Huff...
“Ryan...” ucapnya sambil mengulurkan tangannya kearahku.
“Ria...” jawabku
Keren sih keren, tapi aku yakin dia bukan cowok cerdas ato pintar. Dari gayanya sih kelihatan lumayan bandel. Lagian cowok tidak begitu penting buatku untuk sekarang ini. Apalagi cowok ini, selain keren plus ganteng, kayaknya dia bukan tipeku. Aku ini bukan cewek rajin, ngapain aku dekat ma cowok malas ? kan nggak ada untungnya. Sepertinya, aku terlalu jauh berfikir. Emangnya dia mau ma kamu? Ria...Ria... ucapku sendiri dalam hati. Lucu juga sih.
“Jadi?” tanyanya lagi.
“Jadi apanya ?”
“Jadi? Itu tugas mau diapain?”
“Yah... dikerjainlah... mau diapain lagi?”
“Sekarang ?”
“Iya... tapi aku mau sarapan dulu di kantin.” Ngeselin banget nih orang, nanya mulu.
“Oh... gue juga mau ke kantin” Ujarnya sambil berlalu melewatiku
Gila. Ngeselin banget nih orang. Mimpi apa aku semalam harus bertemu dengan cowok model kayak begini? Aku sengaja mengambil jalan lain untuk ke kantin kampus. Semakin lama aku dengan mahluk seperti itu, aku bisa naik darah. Setelah sampai dikantin aku memilih meja yang pojok. Kantin pagi-pagi begini sudah rame, mudah-mudahan saja mahluk tadi nggak muncul. Menimati roti cokelat plus susu cokelat adalah kebahagiaan dipagi yang sial ini.
“Hai...Aku duduk disini yah, kursi yang lain udah penuh”
Susu yang ada dimulutku hampir saja aku semburkan keluar. Mahluk tadi muncul lagi dihadapanku. Selera makanku jadi hilang. Nggak tau kenapa aku jengkel ma dia. Kesan pertama nggak membawa hasil yang memuaskan. Tanpa izinku dia langsung duduk disampingku. Wah... keterlaluan banget nih orang.
“Ryan....!” Dari arah pintu terlihat tiga orang cowok dekil dan penampilan lumayan aneh melambai kearahnya.
“Woeee... gabung disini!” jawab Ryan dengan teriakan yang lumayan mengganggu telingaku.
Singkat kata singkat cerita, teman-temannya gabung dan makan bersamaku. Sepertinya aku ingin berlari saja dari tempat ini. Empat orang aneh, dengan baju dan jaket yang semua berwarna hitam, gelang besi-besi yang nggak jelas, ala-ala anak band rock. Terlebih lagi mereka bicara sambil teriak, untung mereka semua lumayan harum. Aku harus pergi dari sini. Harus. Sekarang juga.
Belum sempat aku berdiri...
“Kenalin, ini Ria. Teman satu jurusanku”
“Aiiisssttt... aku duluan.... Dika” ucap salah satu dari mereka sambil menjabat tanganku. Genit amat, pikirku. Aku hanya membalasnya dengan senyum yang dipaksa.
“Ini Leo, Indra ma Dodi” jelas Ryan sambil memperkenalkan teman-temannya kepadaku.
“Loe pacaran ma dia ?” ucap Dodi, yang ini lumayan diam, menurutku.
“Ahh... nggak...nggak...” jawabku cepat.
“Takut amat loe disangka pacaran ma gue. Santai aja kali...” kata Ryan sambil tertawa keras. Sebenarnya aku ingin meledak karena kesalnya. Ada yah orang tercipta dengan sifat seperti ini.
“Aku duluan yah, ada kuliah...” kataku mencari-cari alasan dan bergegas melangkah. Dengan berlari kecil aku keluar dari kantin. Huff... akhirnya.
“Hei... Ria!” seseorang memanggilku. Aku menoleh, dan menemukan sosok Ryan berlari kearahku.
“Hubungi gue...!” Katanya sambil menepuk jidatku.
“Aduh!!!” ujarku sambil memegangi jidatku yang sakit. Gila kali tuh orang... Ada selembar kertas menempel dijidatku, dan itu nomor hape-nya. Dia hanya tersenyum dan berbalik pergi.
“Wooiii... Kamu gila yah?” Teriakku. Dia hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. “Sial!”


*bersambung...*

2 komentar:

Unknown mengatakan...

🐰😳😍 how a sweet story...mmmh about first love πŸ’— γ…‹γ…‹γ…‹γ…‹γ…‹γ…‹γ…‹

-Bobby's wife

Phoenix Andita Apriani mengatakan...

Yuupzz... But I post this almost 2 years ago... I don't know what should I write in the next part... I'm too lazy to make it...

Posting Komentar