“Tendangan jarak jauh Tsubasa... hiaaaa!”
teriak keponakanku yang lagi sibuk dengan bolanya dilapangan depan rumah. Keringatnya
mengalir dipipinya, kelihatannya dia sangat menikmati permainannya. Kak Roni
menurunkan hobinya ke anaknya. Mereka bermain dengan gembira, sesekali
terdengar mereka cekikikan berdua. Ternyata, kakakku bisa jadi ayah yang baik.
Akhir-akhir ini bola semakin banyak
digemari, sindrom gila bola yang merasuki jiwa-jiwa manusa... hehehe, seram
amat! Keponakanku yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar tak terlewatkan oleh
jangkitan sindrom ini. Sebenarnya, aku juga menyukainya. Aku jadi teringat
kenangan kecil waktu SD. Tendangan Tsubasa. Mengingatnya membuatku
senyum-sendiri. Bagaimana tidak, tendangan Tsubasa menjadi tendangan andalanku ketika
main bola dilapangan depan sekolahku. Waktu kecil aku ikut nenek dan
disekolahkan di kampung halaman ayah. Sebuah dusun kecil yang sangat indah,
jauh dari hingar-bingar perkotaan dan kental akan persaudaraan. Agak aneh kedengarannya
seorang anak perempuan bermain bola, tapi kenyataannya seperti itu.
Sebenarnya aku bukan orang yang suka pada
bola. Tapi keadaan yang memaksaku untuk menyukainya. Dikelasku, dari duabelas
orang siswa hanya tiga orang perempuan, termasuk aku. Dan anehnya aku lebih
akrab dan nyaman dengan teman-teman laki-lakiku. Sebenarnya sih alasannya
sangat jelas, arah rumah dua orang teman perempuanku sama, mereka tinggal disebelah
kampungku, sedangkan rumahku dan yang lainnya searah. Kami lebih sering main
bersama, bahkan kesekolah dan pulang sekolah pun kami selalu bersama. Alhasil,
ketika mereka main bola, aku juga ikut main bersama mereka. Kalau sekolah sudah
berakhir kami dilrang main bola disekolah, katanya kami ditakutkan merusak
perangkat sekolah karena tidak diwasi oleh guru-guru. Lapangan bola yang ada
diujung kampungku menjadi tempat fovorite kami disore hari. Lapangan yang banyak
menyimpan kenangan dengan mereka, teman-temanku dan juga dia... Yuda.
Yuda bukan teman sekolahku, dia anak
sekolah saingan kami. Kifli yang saat itu adalah ketua kelasku paling sering
bertengkar dengannya. Alasannya, dia sangat kurang ajar pada kami. Sebenarnya,
dia yang selalu mencari masalah dengan kami. Kami selalu bertengkar gara-gara
lapangan bola. Biasanya, kami lebih dulu yang main dilapangan itu tapi dia dan
teman-temannya pasti berusaha merebutnya. Bahkan, pernah waktu itu dia
menangkap bola kami dan membuangnya dikali, saking jengkelnya, Kifli meempar
Yuda dengan batu. Akhirnya, itulah hari terakhir kami main bola dilapanga itu. Mama
Kifli yang juga sebagai wali kelas kami disekolah selalu mengontrol kami, kami
dibiarkan main bola sepuasnya dilapangan sekolah.
“Ria! bantuin kakak dulu... main sama Farel
ya! Kakak mau ke toilet dulu” teriakan Kak Roni membuyarkan lamunanku.
“Tante, ayo tendang bolanya...” Rengek
Farel sambil menatap bola yang tepat ada didepan kakiku.
“Ayoo...” ucapku sambil menendang bola
kearahnya. Menemani Farel bermain membuatku cukup menikmati kembali masa
kanak-kanak yang telah jauh terlewatkan. Kalau saja bisa, aku ingin kembali ke
masa-masa itu dan mencatat semua kenangan yang pernah kujalani. Aku sangat
merindukan masa-masa itu. Masa ketika aku bertemu dengan Yuda tanpa pengetahuan
teman-temanku.
Waktu itu aku ikut Mama kerumah temannya,
Tante Linda. Aku cukup akrab dengan anak Tante Linda, namanya Putri. Ternyata
Putri adalah teman sekelas Yuda dan Tante Linda adalah wali kelasnya. Hari itu
Yuda main kerumah Putri. Sebenarnya aku tidak ingin berteman dengannya, karena
bagiku dia masih musuh kami. Tapi, jiwa anak-anakku masih sangat bersih, dendam
sekecil apapun sudah tidak terlintas dipikiranku. Karena melihat mereka asyik
bermain kelereng, aku ikut bergabung dengan mereka. Mungkin saat itu adalah
moment yang sangat membekas dihatiku. Memoriku menyimpannya dengan baik. Aku sangat
akrab dengannya hanya dalam sekejap. Bahkan ketika ingin meninggalkan rumah
Putri, aku hampir menangis. Yang ada dalam pikiranku saat itu, aku tidak akan
pernah lagi bermain dengannya sebebas ini. Tanpa ada tekanan dari
teman-temanku.
“Udah ya... Tante udah capek, Farel juga
udah keringatan”
“Ahhh... Nggak mau, Farel belum capek”
“Farel mandi aja dulu, lagian kan udah
sore, mainnya besok lagi ya”
“Nggak mau!”
“Kak Roni... mandiin Farel tuh...” Teriakku
kearah Kak Roni yang lagi duduk santai tak jauh dari kami.
Aku berlari kedalam rumah, dan cepat menuju
kamar mandi. Badan lengket dan gerah yang luar biasa. Baginilah jadinya kalau
lari-larian dengan anak kecil yang tidak tau arti capek. Tapi ada rasa puas
tersendiri didalam hatiku, aku menikmatinya. Makasih Farel... ucapku dalam
hati.
***
Sebagai mahasiswa baru, mengumpulkan tugas
tepat waktu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Aku terlambat bangun
hari ini, semalam kayaknya tidurku terlalu nyenyak. Dosen Syntax, yang super
killer pasti akan menyemburku dengan sajaknya yang super pedas. Tugas Syntax
yang kukerja mati-matian dari minggu lalu harus dikumpul pagi ini pukul 08.00
teng! Jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 07.45 dan sekarang aku
baru berangkat. Perjalanan ke kampusku hanya memakan waktu 10 menit saja, tapi
ruangan dosen yang ada dilantai 6 tanpa lift.
Aku berlari menaiki tangga secepat mungkin.
Oh God ! help me. Kalau saja aku superhero, aku pasti bisa tiba diruangan Pak
Heru ontime tapi, aku bukan superhero. Aku berdiri mematung didepan pintu
ruangan Pak Heru, mengatur nafasku. Kuhirup nafas dalam-dalam, dan kuketuk
pintunya.
“Good morning, Sir!” ucapku dengan
lembutnya.
“Morning!” ucapnya sambil menatapku
sampai-sampai kacamatanya melorot. Bukan lagi bertengger didepan matanya tapi
sudah menghiasi hidungnya. Fungsi kacamatnya tidak lagi efisien. Aku cuma tersenyum
dalam hati.
“Ini sudah terlambat!” katanya ketika aku
menyodorkan tugasku dimejanya.
“Kalian harus belajar disiplin, lihat
orang-orang yang berhasil. Mereka tidak akan berhasil seperti itu tanpa disiplin.
Kalian belajar.....@#$%^&*())*&^%$$ bla.... bla...bla...” Omelan Pak
Heru menjadi santapan nikmatku hari ini. Tapi sebenarnya, apa yang dia katakan
tidak ada salahnya, semua demi kebaikanku juga. Tapi semua apa yang
dikatakannya sudah aku hapal dengan baik. Setiap kali dikelas, saat
mahasiswanya terlambat pasti dia mengumandangkan syairnya itu. Tapi salahku
juga sih... seandainya aku tidak terlambat mungkin sarapan pagiku kali ini bisa
lebih baik.
“Begini saja... kalian berdua harus
merangkum buku ini...” lanjut Pak Heru sambil menyodorkan buku setebal ratusan
lembar kepadaku.
“Berdua...????”
“Ya... kalian berdua!”
Aku menoleh kesamping kiriku. Saking tergesa-gesanya
aku tidak memperhatikan sekelilingku. Ternyata, sebelum aku datang sudah ada
mahasiswa lain yang terlambat mengumpulkan tugasnya. Cowok tinggi yang berdiri
disampingku dari tadi hanya manggut-manggut mendengarkan ceramah Pak Heru. Tampangnya
lumayanlah... hehehe... genit ya kedengarannya.
“Bapak kasi waktu dua minggu untuk kalian
kerjakan. Bapak tidak mau melihat kalian menghadap disini lagi karena terlambat
mengumpulkan tugas, kalau kalian sampai terlambat lagi, Bapak tunggu kalian
tahun depan saja” Ucapnya dengan ekspresi khasnya, mata terbelalak, “kalian
boleh keluar sekarang!”
Langkahku serasa berat, tugas yang
kukerjakan dengan sepenuh hati akhirnya hanya menjadi koleksi pribadiku saja. Ditambah
buku yang sekarang berada dalam genggamanku, yang tebalnya mimta ampun! Yang
benar saja... cuma dua minggu dan harus merangkum 980 halaman ? mana bukunya
English full. Sial banget aku hari ine... Ria... Ria... makanya jangan bagun
telat. Omelku dalam hati.
“Kelas apa?”
“Eh...Oh... kelas II E...” jawabku. Aku sampai
lupa aku lagi jalan dengan cowok tadi. Huff...
“Ryan...” ucapnya sambil mengulurkan
tangannya kearahku.
“Ria...” jawabku
Keren sih keren, tapi aku yakin dia bukan
cowok cerdas ato pintar. Dari gayanya sih kelihatan lumayan bandel. Lagian cowok
tidak begitu penting buatku untuk sekarang ini. Apalagi cowok ini, selain keren
plus ganteng, kayaknya dia bukan tipeku. Aku ini bukan cewek rajin, ngapain aku
dekat ma cowok malas ? kan nggak ada untungnya. Sepertinya, aku terlalu jauh
berfikir. Emangnya dia mau ma kamu? Ria...Ria... ucapku sendiri dalam hati. Lucu
juga sih.
“Jadi?” tanyanya lagi.
“Jadi apanya ?”
“Jadi? Itu tugas mau diapain?”
“Yah... dikerjainlah... mau diapain lagi?”
“Sekarang ?”
“Iya... tapi aku mau sarapan dulu di kantin.”
Ngeselin banget nih orang, nanya mulu.
“Oh... gue juga mau ke kantin” Ujarnya
sambil berlalu melewatiku
Gila. Ngeselin banget nih orang. Mimpi apa
aku semalam harus bertemu dengan cowok model kayak begini? Aku sengaja
mengambil jalan lain untuk ke kantin kampus. Semakin lama aku dengan mahluk
seperti itu, aku bisa naik darah. Setelah sampai dikantin aku memilih meja yang
pojok. Kantin pagi-pagi begini sudah rame, mudah-mudahan saja mahluk tadi nggak
muncul. Menimati roti cokelat plus susu cokelat adalah kebahagiaan dipagi yang
sial ini.
“Hai...Aku duduk disini yah, kursi yang
lain udah penuh”
Susu yang ada dimulutku hampir saja aku
semburkan keluar. Mahluk tadi muncul lagi dihadapanku. Selera makanku jadi
hilang. Nggak tau kenapa aku jengkel ma dia. Kesan pertama nggak membawa hasil
yang memuaskan. Tanpa izinku dia langsung duduk disampingku. Wah... keterlaluan
banget nih orang.
“Ryan....!” Dari arah pintu terlihat tiga
orang cowok dekil dan penampilan lumayan aneh melambai kearahnya.
“Woeee... gabung disini!” jawab Ryan dengan
teriakan yang lumayan mengganggu telingaku.
Singkat kata singkat cerita, teman-temannya
gabung dan makan bersamaku. Sepertinya aku ingin berlari saja dari tempat ini. Empat
orang aneh, dengan baju dan jaket yang semua berwarna hitam, gelang besi-besi
yang nggak jelas, ala-ala anak band rock. Terlebih lagi mereka bicara sambil
teriak, untung mereka semua lumayan harum. Aku harus pergi dari sini. Harus. Sekarang
juga.
Belum sempat aku berdiri...
“Kenalin, ini Ria. Teman satu jurusanku”
“Aiiisssttt... aku duluan.... Dika” ucap
salah satu dari mereka sambil menjabat tanganku. Genit amat, pikirku. Aku hanya
membalasnya dengan senyum yang dipaksa.
“Ini Leo, Indra ma Dodi” jelas Ryan sambil
memperkenalkan teman-temannya kepadaku.
“Loe pacaran ma dia ?” ucap Dodi, yang ini
lumayan diam, menurutku.
“Ahh... nggak...nggak...” jawabku cepat.
“Takut amat loe disangka pacaran ma gue. Santai
aja kali...” kata Ryan sambil tertawa keras. Sebenarnya aku ingin meledak
karena kesalnya. Ada yah orang tercipta dengan sifat seperti ini.
“Aku duluan yah, ada kuliah...” kataku
mencari-cari alasan dan bergegas melangkah. Dengan berlari kecil aku keluar
dari kantin. Huff... akhirnya.
“Hei... Ria!” seseorang memanggilku. Aku menoleh,
dan menemukan sosok Ryan berlari kearahku.
“Hubungi gue...!” Katanya sambil menepuk
jidatku.
“Aduh!!!” ujarku sambil memegangi jidatku
yang sakit. Gila kali tuh orang... Ada selembar kertas menempel dijidatku, dan
itu nomor hape-nya. Dia hanya tersenyum dan berbalik pergi.
“Wooiii... Kamu gila yah?” Teriakku. Dia hanya
melambaikan tangannya tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. “Sial!”
*bersambung...*
2 komentar:
π°π³π how a sweet story...mmmh about first love π γ γ γ γ γ γ γ
-Bobby's wife
Yuupzz... But I post this almost 2 years ago... I don't know what should I write in the next part... I'm too lazy to make it...
Posting Komentar