Wedding Song
“Memangnya
harus? Itu kan udah lama banget!” Kataku protes sambil menyeruput moca latte yang ada di hadapanku.
“Harus dong!
Itukan janji kamu sejak kita SMP. Aku udah mimpiin ini dari dulu, sahabat
terbaikku menyanyikan sebuah lagu romantis di pesta pernikahanku sambil
memegang gitar dengan balutan gaun putih… Ahhh… mikirinnya saja udah bikin aku
senang…”
“Please deh Zica,
Aku tuh nggak bisa main gitar… nggak bisa nyanyi… ngapain juga aku cari pusing
cuma buat mimpi romantismu itu jadi kenyataan. Lagian… janji itu aku buat pas
kita masih SMP, saat otakku masih dalam masa perkembangan… Gue NO!”
“Kamu mah gitu…
selalu saja ngasih harapan yang indah terus kamu hancurin lagi harapan itu..
Dimana perasaan kamu, Dita! Tega!!!” Ucapnya sambil setengah berteriak.
Orang-orang di dalam café memandang risih kea rah kami.
“Nggak pake
teriak kali! Tuh orang-orang pada ngeliat kearah kita. Mereka pasti pada mikir
kita ini pasangan sesame jenis… risih tau!” kataku sambil setengah berbisik.
“Pokoknya, Kamu
harus nepatin janji, kalo nggak gue bakalan nangis guling-guling di sisni”
katanya lagi dengan berteriak dan mendramatisir. Sahabatku yang satu ini memang
agak sedikit gila.
“Mau nggak? Kalo
nggak… aku guling-guling di sini!” Katanya sambil berdiri. Ancaman adalah salah
satu jurus terjitunya untuk menghadapi penolakanku. Aku paling nggak suka
menjadi sumber perhatian banyak orang.
Pandangan
orang-orang sekelilingku makin terasa mengganggu. Mereka menatap kami berdua
sambil berbisik-bisik. Aku orangnya pemalu, dan hal yang paling aku benci
adalah tindakan memalukan seperti apa yang dilakukan Zica di depanku sekarang.