Phoenix Library

Just Blogger Templates

Senin, 02 November 2015

Wedding Song



Wedding Song




“Memangnya harus? Itu kan udah lama banget!” Kataku protes sambil menyeruput  moca latte yang ada di hadapanku.
“Harus dong! Itukan janji kamu sejak kita SMP. Aku udah mimpiin ini dari dulu, sahabat terbaikku menyanyikan sebuah lagu romantis di pesta pernikahanku sambil memegang gitar dengan balutan gaun putih… Ahhh… mikirinnya saja udah bikin aku senang…”
“Please deh Zica, Aku tuh nggak bisa main gitar… nggak bisa nyanyi… ngapain juga aku cari pusing cuma buat mimpi romantismu itu jadi kenyataan. Lagian… janji itu aku buat pas kita masih SMP, saat otakku masih dalam masa perkembangan… Gue NO!”
“Kamu mah gitu… selalu saja ngasih harapan yang indah terus kamu hancurin lagi harapan itu.. Dimana perasaan kamu, Dita! Tega!!!” Ucapnya sambil setengah berteriak. Orang-orang di dalam café memandang risih kea rah kami.
“Nggak pake teriak kali! Tuh orang-orang pada ngeliat kearah kita. Mereka pasti pada mikir kita ini pasangan sesame jenis… risih tau!” kataku sambil setengah berbisik.
“Pokoknya, Kamu harus nepatin janji, kalo nggak gue bakalan nangis guling-guling di sisni” katanya lagi dengan berteriak dan mendramatisir. Sahabatku yang satu ini memang agak sedikit gila.
“Mau nggak? Kalo nggak… aku guling-guling di sini!” Katanya sambil berdiri. Ancaman adalah salah satu jurus terjitunya untuk menghadapi penolakanku. Aku paling nggak suka menjadi sumber perhatian banyak orang.
Pandangan orang-orang sekelilingku makin terasa mengganggu. Mereka menatap kami berdua sambil berbisik-bisik. Aku orangnya pemalu, dan hal yang paling aku benci adalah tindakan memalukan seperti apa yang dilakukan Zica di depanku sekarang.
Zica adalah tipe orang yang sangat bertolak belakang denganku. Dia punya sejuta cara konyol agar menjadi sumber perhatian banyak orang. Dia adalah si Miss Sensasi. Zica mulai beraksi. Dia mulai berbaring di samping meja tempat kami duduk. Aku rasakan wajahku mulai memerah akibat panas yang merambat dari dalam hati sampai ke kepalaku. Jalan pikiran Zica yang tak bisa kupahami menjadi menjadi salah satu kelemahan terbesarku.
“Mau nggak?” Dia mulai berteriak. Pegawai-pegawai cafe terlihat mulai geram. Mereka melotot kearahku seakan mengusir kami keluar cafe. Tanpa pikir panjang lagi, aku menarik tangan Zica dan memaksanya berdiri.
“Nggak mau… jawab dulu, mau atau nggak!” Katanya lagi berteriak
“Iya mau… mau… mau..” Kataku berbisik sambil menggertakkan gigi. “Sekarang berdiri, dan kita langsung cabut dari sini… orang-orang sudah ngeliatin kita kayak ngeliatin teroris” lanjutku sambil berjalan keluar cafe.
“Ditaaa… Kamu memang sahabat gue yang paling baik…”teriaknya sambil berlari memelukku dari belakang.
“Lepasin nggak?” kataku dengan nada yang mulai marah. “Aku risih diliatin orang…”
“Nggak mau… Kamu memang sahabatku yang paling lucu” katanya sambil mengecup pipiku.
Dia tertawa terbahak diatas penderitaanku. Melihat tingkahnya yang konyol, tiba-tiba aku juga ikut tertawa. Rasa malu yang tadi membuatku marah berganti tawa yang mengisi semua ruangan cafe. Memiliki sahabat seperti dia adalah takdir yang indah bagiku. Persahabatan yang kami jalin sejak SMP membuatku merasa masih sangat muda. Setiap bertemu dengannya dan bercanda dengannya masih saja membuatku merasa seumuran siswa SMP, bahkan sampai sekarang saat kami berusia dua puluh empat tahun.
Dua bulan lagi Zica akan menikah dengan seorang cowok pilihan ibunya. Awalnya, dia sempat menolak perjodohan, tapi setelah melihat dan berkenalna dengan calon suaminya, akhirnya dia menyerah. Cowok yang menjadi bakal suaminya, namanya Roni, dia bukan sembarang cowok. Dia tampan, berpendidikan tinggi plus punya selera humor yang bagus. Sebenarnya, Zica punya pacar yang sudah dikencaninya kurang lebih delapan bulan. Tapi sekarang cewek-cewek sudah tidak bodoh lagi, mereka jauh lebih relatistis dari apa yang dibayangkan seorang cowok. Meskipun pacarnya itu tampan dan penurut, tapi kerjaannya cuma main game seharian. Makannya masih suka minta traktir sama Zica, dari awal aku nggak pernah suka sama pacarnya itu.
Kembali lagi ke topik awal. Dulu.. duluuuu sekaliiii….  Zica pengen banget belajar main gitar, tapi sayangnya dia nggak pernah mau memotong kukunya yang indah itu. Akhirnya dia menyerah. Sebagai sahabat, aku berniat untuk menghiburnya dengan mengatakan, “Udah… nggak usah sedih, nanti kalo kamu nikah aku bakalan nyanyi buat kamu sambil main gitar…” dan si gila Zica itu menganggap janjiku serius dan sekarang… aku ditagih janji.
Belajar main gitar… harus mulai dari mana? Pertama, aku mencari lagu yang bakalan aku nyanyikan. Kedua, cari cord gitar. Ketiga, praktekin. Simple banget, gampang banget ngerencanainnya, tapi kenyataan nggak seindah harapan. Baru belajar cord gitar, ujung-ujung jariku memerah dan sangat sakit, bahkan hanya disentuh sedikit saja aku bisa berteriak kesakitan.
“Aku nyerah!!! Sumpah… belajar main gitar itu nggak gampang Zica!” kataku ketika dia menelpon pagi tadi.
“Setahuku Dita itu nggak gampang nyerah…” ujarnya dengan suara yang sangat lembut, tujuannya mungkin untuk nyemangatin, tapi di kupingku terdengar sebagai paksaan. “Kamu sih belajarnya cuma lewat nonton video-video di internet… kursus dong! Banyak kok yang mau ngajarin kalo kamu mau bayar…”
“Enak aja… Aku harus ngeluarin uang tabungan liburanku cuma buat nyenangin kamu… hello!!! Ogah…”
“Kurang modal banget sih!”
“Emang…!! berasa rugi aja ngeluarin uang demi kamu” kataku sambil tertawa.
“Emmm… Gini aja, Kak Roni punya teman yang katanya sih anak band, mau nggak aku kenalin..?”
“Emang dia mau ngajarin? Gratis?”
“Entar aku tanya dulu ma orangnya, orangnya cakep anyway…”
“So?” tanggapku datar.
“Yah… sekedar info saja. Aku udah bosan ngeliatin kamu jomblo sampai empat tahun..”
“Emangnya masalah buat kamu? Aku jomblo tapi bahagia kok… I’m single and very happy…”
“Yaa udah… kalo nggak ada niatan pacaran, nanti kamu jangan centil di depan temannya Kak Roni yah…”
“Dasar… sejak kapan aku centil?”
“Jadi aku nggak usah promosiin kamu nih? Jangan nyesal… dia cakep loh”
“Nggak usah… punya cowok itu ngerepotin…” kataku sambil tertawa lebar.
“Uuuu… alesan para jomblo, klise tau..! Udah… gue tutup telponnya. Bye…”
Tiga hari setelahnya percakapan itu, kami janjian untuk bertemu di sebuah cafe. Aku datang lebih awal dari yang lainnya sambil membawa gitar di punggungku. Aku duduk di meja paling pojok sambil menyeruput lemon tea yang aku pesan sebelumnya. Aku melihat sekelilingku. Tempat ini lumayan ramai hari ini, meja-meja tak ada yang kosong. Sambil menunggu aku menatap keluar jendela, di sana juga ada beberapa meja bundar yang berjejer dengan kursi yang mengelilinginya. Taman cafe ini cukup luas untuk dijadikan ruangan tambahan. Tak sengaja retina mataku menangkap sosok aneh disana. Cowok dengan celana jean yang robek bagian lutut, rambut gondrong sebahu, jaket jeans kumal ditambah sepasang sneakers yang berlumpur. Jaman sekarang masih ada mahluk kayak beginian, pikirku. Aku menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala sambil geleng-geleng, He ins’t my type. Karena asik memerhatikannya, tak sadar ternyata dia juga menatap kearahku. Dengan salah tingkah, aku membuat pandangan dan memalingkan muka. Sesekali aku melirik kearahnya, dan dia masih memandang ke arahku.
Aku mulai risih. Apa ada yang salah dengan penampilanku. Selain gitar yang berdiri disampingku tak ada yang aneh menurutku. Skinny jeans biru muda dengan kemeja kotak-kotak merah hitam dan sepasang sneakers putih. Tak ingin bertambah risih, aku mengabaikannya. Tak lama setelah itu, Zica dan Kak Roni muncul di balik daun pintu sambil bergandengan tangan. Aku melambaikan tangan ke arah meraka sambil tersenyum aneh.
“Udah lama ya?” tanya Kak Roni.
“Lumayan…” jawabku tersenyum.
“Dirga mana ya?” Tanya Zica sambil menatap ke sekeliling cafe
Kak Roni mengeluarkan handphone dari dalam saku dan menelpon seseorang.
“Dimana? Gue udah di cafe nih…” katanya sambil menatap ke arah taman. “Tunggu di situ aja..” lanjutnya.
“Tuh dia di luar, di taman…” Katanya lagi sambil berdiri dan berjalan menuju taman. Zica mengekor di belakannya. Aku masih duduk diam. Kupandangi mereka ditaman. Cowok kumal tadi menjabat tangan Kak Roni sambil tersenyum. Cowok itu yang bakalan ngajarin gue main gitar. Cakep? Diliat dari sisi manapun dia biasa saja, sangat biasa malah. Zica melambaikan tangan ke arahku. Aku beranjak dari kursi dan bergabung dengan mereka. Tak ada yang spesial hari itu, hanya tukaran kontak dan janjian untuk ketemuan lagi di studio musiknya.
Namanya Dirga Anggara. Umur 27 tahun, sarjana ekonomi yang profesinya sebagai anak band. Dia punya bisnis sanggar seni khusus seni musik, dia ngajarin orang main musik. Sekedar informasi dari Zica. Hari ini aku janjian bertemu dengannya di studio musik pribadinya, yang biasa dijadikan tempat les musik. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Setakuhu, setelah menonton sekian banyak drama korea, orang yang belajar gitar itu harus rela tangannya dipegang dan juga dipeluk oleh sang guru, dan dari situlah awal cerita romantis dimulai. Tapi, si cowok kumal itu bakalan jadi guruku, gue nggak rela dipeluk sama dia… bukannya sok suci, tapi membayangkan rambut gondrongnya saja sudah membuatku pusing.
Aku berdiri didepan sebuah toko kecil, tepatnya studio music yang lumayan kecil. Kelihatannya sangat sepi dari luar, mungkin karena tempal les music ini tidak bagus, atau mungkin karena hujan yang masih rintik-rintik membuat para manusia malas berkunjung ke tempat ini. Meskipun tempat ini kecil, tapi gaya bagunannya lumayan keren. Dinding luarnya terbuat dari kaca. Orang yang berada di dalam ruangan bebas melihat ke arah luar. Ruangan les ditata lebih mirip sebuah cafe, beberapa meja dan kursi disusun berhadapan di pinggir dinding kaca. Studio musik yang kedap suara terletak di ruangan yang paling dalam. Dua ruangan studio itu dipakai untuk latihan para anak band. Pintunya tertutup rapat. Ruangan les tempatku berdiri sekarang sangat sunyi, hanya ada Dirga yang sedang duduk di kursi yang berdampingan dengan dinding kaca sambil memegang gitar di pangkuannya.
“Hai..” kataku basa-basi sambil duduk di hadapannya.
“Emm” jawabnya tanpa memandang ke arahku.
“Kok sepi? Lagi libur ya?” tanyaku mencoba membuka percakapan.
“Iya.. jam-jam segini biasanya emang sepi. Di studio cuma ada teman gue yang latihan..” jawabnya dengan nada yang lumayan akrab. “Gue ngajarin loe disini aja…” lanjutnya. Aku hanya tersenyum sambil mengeluarkan gitar dari tas gitarku.
“Coba sini..” katanya sambil meraih gitar dari tanganku.
Jreng… jreng… beberapa kali dia membunyikan gitar sambil menyetel senar-senar gitar. Setelah merasa cukup, dia menjulurkan kembali gitar ke arahku. Ternyata, belajar gitar tak seromantis di drama-drama korea. Tak ada pengangan tangan, tak ada pelukan dari belakang. Dirga hanya duduk di depanku dengan sebuah gitar di pangkuannya, sambari menyuruhku untuk menekan cord-cord gitar yang dia praktekkan di depanku. Tak ada sama sekali unsur romantis ketika belajar main gitar, please… jangan tertipu drama korea. Yang kudapatkan hanyalah perih dan sakit di ujung-ujung jariku. Sekuat apapun aku menekan senar gitar, bunyi yang keluar masih terdengar sangat aneh.
“Awalnya memang gitu… nanti kalo udah terbiasa ujung jari loe nggak bakalan sakit lagi. Tungguin dulu ujung jari loe kapalan…”
Jari-jari manisku nan indah harus bersiap menjadi jari-jari yang kasar nan kapalan. Pengorbanan yang cukup besar demi nama sebuah persahabatan.
“Istirahat dulu deh…” katanya ketika melihatku mengerutkan dahi menahan sakit. Dia berdiri dan berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan dan kembali dengan dua gelas jus jeruk di tangannya.
“Nih… minum dulu…” katanya sambil menyodorkan minuman ke arahku.
Meskipun dia kumal, setidaknya dia adalah orang yang lumayan bersahabat. Dia tidak terlalu membuatku canggung dengan panggilan loe-gue nya membuatku cukup nyaman dan cepat beradaptasi dengannya. Kami banyak bercerita tentang Zica dan Kak Roni. Mereka berdua menjadi topic pembicaraan yang lumayan seru.
“Jadi Kak Roni dulunya juga nggak mau di jodohkan?” tanyaku penasaran
“Iya, katanya sekarang bukan jamannya lagi Siti Nurbaya. Tapi pas kenalan sama Zica dia curhat ke gue kalo Zica itu beda ma cewek lain…”
“Jelas beda… cewek lain mana ada yang segila Zica…” kataku sambil tertawa.
“Loe setuju nggak ma perjodohan?” tanyanya tiba-tiba.
“Emmm… gimana yah… setuju-setuju aja sih kalo cowoknya cakep plus tajir” jawabku sembrono.
“Tapi kalo misalnya loe dijodohin sama cowok kumal kayak gue? Sudah kumal.. nggak tajir lagi, cuma anak band.. mau nggak?”
“Emm…”
“Nggak bisa jawab artinya nggak mau kan?”
Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Tak ada jawaban pasti tentang itu. Aku memutuskan tidak pacaran dan jomblo sampai empat tahun bukannya tanpa alasan. Aku hanya jenuh dengan proses pacaran yang bagiku membuang-buang waktu karena tidak ada ujung yang jelas. Mau dibawa kemana hubungan? Sampai sekarang aku belum pernah memikirkan untuk menikah jadi memikirkan masalah pacaran tidak pernah lagi terlintas di pikiranku. Realistis. Bagiku cewek sekarang harus banyak-banyak berfikir. Cowok hampir semuanya hanya mencari keuntungan pada pasangannya. Akan beda ceritanya ketika mereka memutuskan untuk menikah bukan lagi saling mencari keuntungan tapi ada komitmen untuk saling menjaga. Masih sulit bagiku menemukan cowok yang sejalan dengan pemikiranku.
Aku bertemu Dirga tiga kali seminggu. Karena sering bertemu, aku sudah nyaman dengan kekumalannya. Dengan gondrongnya yang berantakan. Dengan sepatunya yang bersebu serta jaket jeansnya yang kumal. Dari kesekian banyaknya kekurangannya, dia punya satu kelebihan yang sangat aku suka. Dia harum. Aku tidak berpikiran aneh-aneh. Setidaknya aroma tubuhnya membuat orang yang berada di sekitarnya merasa nyaman.
Hari ini aku datang lebih awal ke tempatnya. Ruangan les agak ramai oleh anak-anak remaja yang sedang berkumpul sambil memangku gitar. Beberapa diantaranya masih sangat kecil. Gitar yang ada dipangkuannya hampir melebihi tinggi badannya. Dirga terlihat sangat sibuk mengatur siswa-siswanya. Dengan suara yang lantang dia mulai mengajar. Siswa duduk rapi dihadapannya membentuk barisan setengah lingkaran. Dirga yang duduk dihadapan mereka mulai memetik gitarnya. Siswa-siswanya mengikuti jari-jemari gurunya. Keseriusan dan antusiasme mereka terpancar jelas. Tak terasa hampir dua jam aku memperhatikan mereka. Setelah satu-persatu siswa memainkan gitar, les gitarnya berakhir. Para siswa membereskan alat musik mereka dan kembali duduk rapi. Sebelum mereka bubar ternyata ada satu prosesi yang wajib dilakukan. Dirga membawakan sebuah lagu sebelum menutup kelas.
Jreng… jreng… petikan gitar yang terdengar sangat syahdu. Keheningan ruangan membuat bunyi gitar semakin terdengar lebih indah. Melihat Dirga duduk disana memainkan gitar membuatku merasakan aura yang terpancar dari seorang seniman. Kharisma yang tidak semua orang memilikinya. Dirga mulai bernyanyi…
Mungkinkah kau tau, rasa cinta yang kini membara..
Yang masih tersimpan dalam lubuk jiwa..
Ingin kunyatakan, lewat kata yang mesrah untukmu..
Tapi ku tak kuasa untuk melakukannya…
Mungkin hanya… lewat lagu ini.. akan kunyatakan rasa
Cintaku padamu… rinduku padamu… tak bertepi
Mungkin hanya… sebuah lagu ini.. yang akan selalu kunyayikan
Sebagai tanda betapa aku inginkan kamu…
Aku menatap Dirga dalam. Suaranya yang merdu membuatku terlena dalam lirik lagunya. Dia juga menatap ke arahku. Aku tersenyum ke arahnya. Dia juga tersenyum. Ada sebuah sisi di hatiku yang membuat jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Aku berpikir aneh, bahkan terbersit dipikiranku, sedikit berharap lagu itu dinyanyikan untukku. Dia menyanyi dengan penuh penjiwaan sambik menatapku, seakan-akan dia berbicara padaku. Pikiranku mulai keluar batas. Aku mulai grogi, aku menatapnya lebih dalam. Ya… dia berbicara kepadaku. Lagu ini seakan dinyanyikan untukku. Tatapan matanya membuatku berpaling. Aku tak bisa membalas dengan tatapan yang sama. Ada apa denganku?
Ada yang salah denganku sejak hari itu. Setelah sekian lama jantungku tidak berdetak kencang, Dirga berhasil membuatku bingung. Lagu yang dia nyanyikan membuatku melihat Dirga dari sisi yang berbeda. Dia bukan lagi si kumal yang dulu. Seberantakan apapun gayanya, dia terlihat keren di mataku. Aku takut. Takut kalau saja aku menyukainya. Ada yang aneh dalam otakku. Kupaksakan untuk tidak selalu memikirkannnya. Setiap saat aku melihat gitar yang bersandar dipojokan kamarku, aku memikirkannya. Aku yang dulunya malas untuk belajar main gitar, sekarang justru merindukan hari dimana aku akan bertemu Dirga. Kupaksakan otakku untuk berpikir logis. Kupaksakan otakku mencerna berbagai alasan untuk tidak menyukai Dirga. Berbagai macam alasan kubuat demi menghilangkan rasa itu. “Anak band itu playboy..”, “Dia cuma menyanyi biasa… jangan ke-Gran Dita..”, “Emangnya apa bagusnya Dirga? Kumal..” berbagai alasan itu tidak bisa memperlambat detakan jantungku setiap bertemu dengannya. Aku sadar, aku mulai tertarik padanya… dan aku benci itu. Aku benci rasa itu. Rasa yang sangat sulit dipendam dan tak akan mungkin pernah bisa aku ungkapkan.
Tak terasa hampir dua bulan aku berkenalan dengan Dirga. Karena dia, permainan gitarku sudah lumayan bagus, meskipun aku hanya belajar satu lagu, lagu istimewa untuk Zica. Bertemu Dirga semakin berat. Kutanamkan diotakku kalau Dirga bukan orang yang spesial, kelebihan dia cuma suaranya yang merdu.
“Akhir-akhir ini loe kelihatan nggak semangat… udah bosan belajar gita ya?” kata Dirga sambil menatapku santai.
“Nggak kok… “ jawabku berusaha sesantai mungkin. Akhir-akhir ini aku berusaha untuk menjaga jarak dengan Dirga. Aku takut menyukainya lebih dari sekarang. “Aku balik dulu ya… buru-buru soalnya”lanjutku sambil berdiri meninggalkannya.
Aku menjaga hubungan hanya sebatas siswa dan guru, bahkan menganggapnya hanya teman sekarang susah bagiku. Ketika rasa itu sudah muncul, butuh waktu yang lebih banyak untuk melepaskannya pergi, karena melupakan seseorang tak secepat ketika jatuh hati padanya.
“Gue ada salah ya? Kok gue ngerasa loe ngehindar sih?” tanyanya santai saat kami bertemu lagi.
“Ahh… nggak kok. Perasaan kamu aja kali..” jawabku. Aku sudah merasa lebih baikan setelah menghindarinya.
“Loe bahkan nggak pernah memandang gue kalo lagi bicara… gue ada salah ya?” tanyanya lagi.
“Nggak kok…” jawabku dengan berusaha tersenyum.
“Mungkin loe lagi ada masalah ya? Mau gue hibur nggak?”
“Boleh…”jawabku sesantai mungkin.
“Oke… “ katanya sambil meraih gitar yang ada di sampingnya.
Jreng… jreng… Lagi-lagi gue terperangkap olehnya. Dia terlihat berbeda. Aku kelabakan menata detak jantung yang semakin cepat. Aku yakin mukaku memerah ketika menatapnya. Dia mulai bernyanyi.
Pernah ku simpan jauh rasa ini…Berdua jalani cerita..
Kau ciptakan mimpiku… Jujurku hanya sesalkan diriku..
Kau tinggalkan mimpiku… namun kuhanya sesalkan diriku..
Ku harus lepaskanmu… melupakan senyummu…
Semua tentangmu.. tentangku… hanya harap jauh..
Ku jauh mimpiku, dengan inginku…
Aku terdiam mematung. Aku merasa lagu itu untukku. Aku merasa kalau dia juga merasakan hal yang sama, tapi dia harus melepaskanku. Aku berharap dia tau perasaanku, walaupun aku tak pernah mengungkapkannya. Aku merasa seperti orang bodoh yang menunggu balasan perasaan. Harapan yang tak kunjung berbalas. Aku merasa menjadi pemeran sebuah kisah cinta yang tak pernah menjadi kisah cinta yang sebenarnya, tak pernah ada ucapan pengakuan dari lawan peranku. Aku merasa dilepaskan untuk tidak lagi menyukainya.
Lirik lagu ini sedih, membuatku hampir hilang kontrol. Mataku memanas, ada perasaan sedih merasukiku. Perasaan ketika harus melepaskan sesuatu yang sangat didambakan. Perasaan putus asa, seperti perasaanku sekarang. Tak tau kenapa lagu itu terasa sebagai ucapan perpisahan yang mengharukan. Perasaan sedih dan putus asa ketika harus berpisah meskipun tidak pernah bersama. Kisah yang berakhir meskipun tak pernah diawali.
Aku mengubur perasaanku dalam-dalam sejak hari itu. Ketika melihat Dirga, ada sedikit kemarahan yang muncul dihatiku. Marah kepadanya karena seakan melepaskanku tanpa pengakuan. Meskipun, aku tak yakin dia merasakan perasaan yang sama denganku.
“Orang yang bawa gelas, tidak pasti akan minum…” itu kalimat Zica ketika aku mencurahkan isi hati kepadanya. “Jangan berlebihan… jangan ke-Gran… Apalagi Dirga nggak pernah ada tanda-tanda suka ma kamu. Aku nggak mau kamu berharap sama cowok yang nggak pernah ngasih respon” Jelasnya panjang lebar.
“Kalau masalah nyanyi-nyanyi, itu mah kerjaannya si Dirga… Dia itu anak band, wajarlah kalau ngehibur orang pake lagu.. please deh Dita… jangan galau gitu, itu bukan kamu banget!” lanjutnya.
Aku memutuskan untuk berhenti berharap. Aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi dari Dirga. Aku tak mau merasa kecewa dengan perasaannya yang tak pernah aku tau. Tipe cowok cuek kayak Dirga berpeluang besar meninggalkan kekecewaan. Pikiran logisku berhasil menekan perasaan yang tak seharusnya kurasakan. Dirga adalah teman yang baik, perasaanku padanya mungkin hanya terbawa suasana saja. Itu kesimpulanku.
“Hari ini terakhir belajar gitar sama gue kan?” tanya Dirga.
“Iya… besok kan udah acaranya” jawabku santai.
“Mau nggak gue temani nyanyi besok? Maksud gue… loe nggak solo, kita duet!”
“Emmm… ide bagus sih, Aku bahkan rela kalo kamu mau gantiin aku berdiri di panggung..”
“Nggak gitu juga… gue maunya sama loe…”
“Emmm… boleh juga”
Kami memutuskan untuk berduet. Hari itu kami latihan gitar dan bernyanyi. Aku lebih bersemangat untuk memberikan hadiah pada Zica. Tak ada hal lain di pikiranku selain membuat Zica senang di hari terakhirnya menjadi lajang.
“Gue antar loe pulang..” Katanya saat aku ingin melangkah keluar pintu.
“Nggak usah…” kataku.
“Gue mau keluar, sekalian antar loe pulang,,, itung-itung sebagai hadiah terakhir loe jadi murid gue..”
“Enak banget jadi muridnya kamu, udah diajarin gratis, Eh… diantar pulang lagi…” kataku bercanda sambil tertawa kecil.
Dirga mengantarku pulang dengan sepeda motornya. Meskipun aku berusaha untuk menekan perasaanku, tak kupungkiri detakan jantungku kembali berbeda. Aku senang dan nyaman dengannya. Tak semestinya aku kehilangan teman seperti ini hanya karena rasa itu. Perjalanan terasa sangat singkat.
“Gue balik dulu. Besok jangan lupa dandan yang cantik” katanya ketika kami sampai di depan pagar rumahku.
“Iya.. kamu jug dandan yang rapi! Jangan malu-maluin aku sebagai pasangan duet kamu..”
“Oke… gue nggak bakalan malu-maluin loe deh.. Dirapiin dikit gue bakalan secakep artis korea loh!”
“Narsis banget…”
“Gue jalan dulu… jangan rinduin gue ya..” Katanya lagi sambil tertawa.
Aku memandangnya pergi sampai dia hilang dibalik pagar. Ada pikiran yang muncul di kepalaku… seandainya… seandainya… aku tersenyum sendiri. Aku memutuskan tak ingin berharap tapi masih saja berpikir kata seandainya.
Gedung pernikahan Zica terlihat begitu indah. Dekorasi gedung yang serba putih dilengkapi dengan bunga-bunga lili putih yang sangat indah. Sederhana tapi berkelas, itulah gaya Zica. Dia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun panjang putih yang yang menutupi kulit putih bersihnya. Kak Roni sangat rapi dengan balutan tuxedo hitam dan sebatang bunga lili putih kecil terselip dikantung baju sebelah kirinya. Mereka berdua bak raja dan ratu malam ini. Resepsi pernikahan mala mini bernuansa putih, berbeda dengan acara akad nikah tadi pagi yang bernuansa adat bugis Makassar.
Kupandangi sekelilingku, Dirga belum juga muncul. tak ada cowok dengan rambut sebahu yang muncul. Aku merasa menghadiri pesta ala Eropa, ditengah-tengah para tamu undangan yang memakai gaun putih dan tuxedo hitam.
“Hai lady…” Aku dikagetkan dengan orang yang tiba-tiba muncul dari belakangku. Cowok tinggi dengan rambut cepak memakai tuxedo hitam yang sangat cocok dibadannya. Aku pangling. Dirga.. dia kelihatan sangat berbeda. Rambut gondrongnya berganti dengan rambut cepak yang rapi. Harus jujur aku akui dia terlihat sangat tampan, dan lagi-lagi… Aku merasa aliran listrik masuk kedalam tubuhku. Aku gugup.
“Not bad lah… kamu cantik!” Katanya sambil menatapku dari ujung kepala samapai ujung kaki. Mini dress putih selutut dengan lengan sesiku di lengkapi dengan high heels perak yang lumayan menyilaukan mata. Rambutku yang aku ikat keatas dan kuhiasi dengan  ikat rambut bunga berwarna putih.
“Emmm… Ma..makasih” ucapku dengan sedikit gugup.
“Loe kok gugup? Salah tingkah sama gue?”
“Nggaklah..” jawabku menghindar
Moment yang Zica tunggu-tunggu akhirnya tiba. MC mempersilahkan kami menaiki panggung untuk membawakan sebuah lagu. Dirga dan aku duduk berdampingan disebuah kursi dengan gitar dipangkuan masing-masing. Dirga sangat tampan dengan gitar putih di pangkuannya. Kami mulai memetik senar gitar… dan Dirga mulai bernyanyi.
Dengarkanlah… Wanita pujaanku…
Malam ini akan kusampaikan
Hasrat suci kepadamu dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini
Aku ingin mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini, akulah yang terbaik untukmu…
Aku bahagia mendengarnya. Tak ada alasan kenapa, hanya saja.. aku bahagia. Aku kemudian menyanyikan lirik bagianku.
Dengarkanlah lelaki impianku..
Malam ini akan kusampaikan
Janji suci satu untuk selamanya
Dengarkanlah kesungguhan ini
Aku ingin mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini, akulah yang terbaik untukmu…
Zica dan Kak Roni juga terlihat sangat bahagia. Begitupun aku. Melihat sahabat terbaikku bahagia, aku juga merasakan hal yang sama. Dan menatap orang yang sedang menyanyi disampingku… semakin membuatku bahagia. Aku sadar akan perasaanku. Aku menyukainya. Aku senang dan nyaman dengannta, tapi aku tak ingin berharap lebih dari sekarang. Aku menikmati perasaan menyukainya dengan batasan-batasan yang aku buat sediri. Aku tidak suka menyukai sesuatu dengan berlebihan. Aku menikmati perasaanku menyukaimu, Dirga… menikmati perasaan bahagia ketika bernyanyi bersama, menikmati perasaan senang ketika berbicara denganmu. Cukup begini saja, kebahagiaan yang sederhana.
Sudah tiga bulan sejak Zica pindah keluar kota. Dia mengikuti Kak Roni yang pekerjaannya harus keluar kota. Hidupku akhirnya sepi. Sebagain besar waktuku kuhabiskan dirumah dan dibutik yang baru-baru aku buka. Bisnis kecil-kecilan ini sudah lama aku rencakan. Untungnya, semuanya kesampaian saat Zica sudah pergi, setidaknya ada sedikit kesibukan untuk mengobati kesepian. Emm… Dirga dan aku kadang bertemu untuk sekedar lunch ato dinner. Nggak ada yang spesial. Aku yakin dia hanya menganggapku teman. Aku memang menyukainya sepihak, tapi aku tau posisikku. Aku tak pernah bertingkah lebih dari seorang teman di hadapannya. Aku menikmati peranku sebagai teman tanpa harus menjaga image atau tampil lebih di depannya.
Tiba-tiba hapeku bergetar. Ada pesan dari Dirga
Dirga : Hi… ntar malam mau dinner ma Aku nggak?
Aku : Dimana? Gratis nih?
Dirga : Gratis… tapi kita makannya nggak berduaa, nggak papa kan?
Aku : Aku nggak berharap makan berduaan ma kamu. Emang makan ma siapa?
Dirga: Sama si Roni ma Zica
Aku: Emang mereka ada di sini?Kok Zica nggak ngabarin sih..
Dirga: Makanya gue yang ngabarin…
Aku: Ohh.. oke. Emang makannya mau dimana?
Dirga: Ntar gue jemput. See ya!
Malam itu Dirga menjemputku di butik. Dia agak beda dari biasanya.
“Tumben kamu rapi.. santai aja kali… kita makannya bukan sama presiden, Roni ma Zica doang!” Kataku menyindir.
“Kita makan di restaurant yang mahal… harus rapi dong”
Tak lama kami sampai di sebuah resto yang cukup mewah. Seorang ibu paruh baya melambaikan tangan kearah kami. Mungkin dia salah orang, pikirku. Semakin kami mendekat senyuman Ibu tadi semakin lebar. Aku berbalik memandang Dirga yang berjalan disampingku. Dia juga tersenyum kearah Ibu tadi. Kupandangi wajah-wajah disekitar Ibu itu, tak ada wajah Zica dan Roni. Disana Cuma ada tiga orang Ibu-ibu dan seorang Bapak yang tersenyum lebar ke arah kami.
“Malam Ma.. Pa.. Kenalin, ini teman Dirga.. Namanya Dita”
Aku bingung. Kujabat tangan ibu-ibu dan Bapak yang ada disekeliling meja.
“Dita Tante.. Dita Om…” Aku masih dalam keadaan bingung.
Dinner ini adalah dinner yang paling membuatku grogi. Aku menjadi satu-satunya orang asing diantara keluarga besar Dirga. Mama dan Papa serta tante-tantenya yang hadir memerhatikanku. Aku jadi grogi. Aku tau Dirga suka bercanda, tapi kali ini bercandaannya nggak lucu. Aku makan dengan perasaan dongkol. Mereka tak banyak bicara padaku. Mereka menikmati makanan mereka masing-masing tapi mata mereka tak pernah melepaskanku dari pengawasannya.
Dirge terlihat santai dan tidak pernah menghiraukan perasaanku. Sampai akhirnya kami selesai makan dan orang tua serta tante-tantenya meninggalkan kami berdua.
“Bercandaan kamu nggak lucu…” Kataku penuh emosi.
“Gue nggak bercanda,.. Gue bohong klo kita makan sama Roni dan Zica karena gue yakin kalo gue bilang kita bakal makan ma keluarga gue, gue yakin loe pasti nggak mau”
“So? Maksudnya apa gue dibawa kesini?”
“Nggak ada maksud apa-apa”jawabnya santai,”Gue cuma pengen ditemanin aja makan ma keluarga gue”
“Ohh… jadi aku terlihat gampangan dimata kamu? Gampang diajak  kemana-mana, gitu?” Mataku mulai memanas.
“Nggak kok, gue cuma pengen ngenalin loe aja ma orang tua gue..”
Tak terasa air mataku jatuh. Aku marah dengan jawabannya yang seakan-akan cuma memanfaatinku. Aku kecewa karena ada sisi dihatiku yang berharap lebih. Aku marah dengan keadaan yang memojokkanku.
“Loe marah ya? Gue minta maaf… gue nggak ada maksud buat bikin marah…”
Air mataku terus saja menetes. Dia mendekat ke arahku berusaha untuk menenagkanku. Aku marah pada diriku sendiri. Tak seharusnya aku berharap sesuatu yang lebih dari seorang yang menganggapku tak lebih dari seorang teman. Aku salah paham. Aku sendiri bertanya-tanya, apa yang aku harapkan? Kutarik nafas dalam-dalam, kuseka air mataku dan mencoba menenangkan diri.
“Kamu bisa antar aku pulang sekarang kan?” Aku kehilangan kata-kata. Beribu umpatan yang ada dikepalaku siap untuk kulontarkan dihadapan Dirga, tapi lidahku kelu. Aku takut dia akan bertanya apa yang sebenarnya aku harapkan. Ini cuma makan malam biasa dengn orang tua seorang teman. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam.
Banyak hal yang kupikirkan sejak semalam. Kebodohanku karena salah paham hampir membuatku malu. Sekarang persaanku sudah kembali normal. Menyukai seseorang sama dengan menikmati setiap moment kebersamaan, dan kekecewaan tadi malam juga bagian dari moment itu. Sebagai orang yang menyukai sepihak, aku sudah siap dengan segala kekecewaan yang akan muncul. Menyukainya sendiri tanpa mengharap balasan bukanlah sebuah dosa.
Handphone-ku bergetar… Pesan dari Dirga.
Dia mengirim sebuah video. Didalam video itu Dirga masih mengenakan baju yang dikenakannya semalam sambil duduk diatas kursi dengan gitar coklat dipangkuannya. Dia terlihat gugup. Apa lagi ini? pikirku.
“Gue minta maaf… Gue tau kalau loe kecewa sama gue… Gue mau ngehibur loe...” ucapnya terbata-bata,”Sekarang gue gugup banget... sebenarnya ada lagu yang mau gue nyanyiin buat loe… ahh ini bukan buat loe sepenuhnya juga sih… tapi buat Papanya kamu.. Gue serius!” Dia berhenti berbicara sejenak. Dengan tatapan serius dia menatap ke kamera,“Emmm… Please tell your Dad..” lanjutnya.
 Dia mulai memainkan gitarnya. Alunan melody acoustic yang indah terdegar sangat romantis. Alunan nada indah ini yang akan selalu membuatku jatuh hati padanya. Aku mulai tersenyum.. melihat tingkahnya, aku suka. Dan dia mulai bernyanyi..
Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time,
See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Cause very soon I'm hoping that I...
Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'til the day that I die,
 Yeah.. I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
Can't wait to smile
When she walks down the aisle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter…
Di video itu Dirga terlihat canggung, dia tertawa sambil menutupi wajahnya setelah bernyanyi… pelan-pelan dia kembali duduk dengan wajah yang serius dan kembali berbicara.
“Dita… Gue… Eh.. Ah.. Aku minta maaf selama ini nggak memperlihatkan perasaanku yang sebenarnya. Aku suka kamu sudah lama. Emm… sejak kamu ngeliatin gue dari balik kaca di cafe dulu. Zica banyak cerita tentang kamu, dan semua tentang kamu membuatku tertarik mengenalmu lebih jauh… sebenarnya, gue pernah hampir nyerah. Aku pikir kamu nggak tertarik denganku, aku merasa dulu kamu pernah menghindar dariku. Tapi, tadi malam pas ngelihat kamu nangis… aku jadi berfikir, kamu juga suka sama aku. Kamu berharap sesuatu yang lebih dari aku. Em… maaf karena yak pernah tegas mengakui perasaanku… Huff.. kok Aku gugup gini yah… Aku mau bilang sesuatu… Dita, will you marry me?” katanya dengan senyuman yang sangat lebar. Dan video itu berakhir.
Tak terasa air mataku jatuh. Aku tersenyum bahagia. Lagu romantis yang keluar dari bibirnya aku anggap sebagai pengakuannya. Aku banyak belajar tentang perasaanku selama ini. Menyukai seseorang bukan tanpa alasan. Aku menyukai Dirga dengan banyak alasan “MESKIPUN”… meskipun dia kumal, aku suka. Meskipun dia anak band, aku suka. Berbagai macam alasan itu membuatku mengenalnya jauh lebih banyak. Harapan yang selama ini aku anggap tak berbalas ternyata bersambut juga. Tak sabar rasanya aku ingin bertemu dengannya dan meneriakkan jawabanku dengan lantang…
“Yes.. I will…”
***


Phoenix Andita
Makassar, 2 November 2015
5:48 PM

5 komentar:

Ron mengatakan...

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kisah yang indah. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Phoenix Andita Apriani mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Phoenix Andita Apriani mengatakan...

Makasih sudah baca cerita ini, Ron..

Nam's mengatakan...

thank you so much sdh pake nama aku!! Love you Bae.....<3
I can't imagine, I was married at your story! omo!!! ^^

Nam's mengatakan...

My First Love nya kapan di update? Penasaran......,

Posting Komentar