Wedding Song
“Memangnya
harus? Itu kan udah lama banget!” Kataku protes sambil menyeruput moca latte yang ada di hadapanku.
“Harus dong!
Itukan janji kamu sejak kita SMP. Aku udah mimpiin ini dari dulu, sahabat
terbaikku menyanyikan sebuah lagu romantis di pesta pernikahanku sambil
memegang gitar dengan balutan gaun putih… Ahhh… mikirinnya saja udah bikin aku
senang…”
“Please deh Zica,
Aku tuh nggak bisa main gitar… nggak bisa nyanyi… ngapain juga aku cari pusing
cuma buat mimpi romantismu itu jadi kenyataan. Lagian… janji itu aku buat pas
kita masih SMP, saat otakku masih dalam masa perkembangan… Gue NO!”
“Kamu mah gitu…
selalu saja ngasih harapan yang indah terus kamu hancurin lagi harapan itu..
Dimana perasaan kamu, Dita! Tega!!!” Ucapnya sambil setengah berteriak.
Orang-orang di dalam café memandang risih kea rah kami.
“Nggak pake
teriak kali! Tuh orang-orang pada ngeliat kearah kita. Mereka pasti pada mikir
kita ini pasangan sesame jenis… risih tau!” kataku sambil setengah berbisik.
“Pokoknya, Kamu
harus nepatin janji, kalo nggak gue bakalan nangis guling-guling di sisni”
katanya lagi dengan berteriak dan mendramatisir. Sahabatku yang satu ini memang
agak sedikit gila.
“Mau nggak? Kalo
nggak… aku guling-guling di sini!” Katanya sambil berdiri. Ancaman adalah salah
satu jurus terjitunya untuk menghadapi penolakanku. Aku paling nggak suka
menjadi sumber perhatian banyak orang.
Pandangan
orang-orang sekelilingku makin terasa mengganggu. Mereka menatap kami berdua
sambil berbisik-bisik. Aku orangnya pemalu, dan hal yang paling aku benci
adalah tindakan memalukan seperti apa yang dilakukan Zica di depanku sekarang.
Zica adalah tipe orang yang sangat bertolak belakang denganku. Dia punya sejuta
cara konyol agar menjadi sumber perhatian banyak orang. Dia adalah si Miss
Sensasi. Zica mulai beraksi. Dia mulai berbaring di samping meja tempat kami
duduk. Aku rasakan wajahku mulai memerah akibat panas yang merambat dari dalam
hati sampai ke kepalaku. Jalan pikiran Zica yang tak bisa kupahami menjadi
menjadi salah satu kelemahan terbesarku.
“Mau nggak?” Dia
mulai berteriak. Pegawai-pegawai cafe terlihat mulai geram. Mereka melotot
kearahku seakan mengusir kami keluar cafe. Tanpa pikir panjang lagi, aku
menarik tangan Zica dan memaksanya berdiri.
“Nggak mau… jawab
dulu, mau atau nggak!” Katanya lagi berteriak
“Iya mau… mau…
mau..” Kataku berbisik sambil menggertakkan gigi. “Sekarang berdiri, dan kita
langsung cabut dari sini… orang-orang sudah ngeliatin kita kayak ngeliatin
teroris” lanjutku sambil berjalan keluar cafe.
“Ditaaa… Kamu
memang sahabat gue yang paling baik…”teriaknya sambil berlari memelukku dari
belakang.
“Lepasin nggak?”
kataku dengan nada yang mulai marah. “Aku risih diliatin orang…”
“Nggak mau… Kamu
memang sahabatku yang paling lucu” katanya sambil mengecup pipiku.
Dia tertawa
terbahak diatas penderitaanku. Melihat tingkahnya yang konyol, tiba-tiba aku
juga ikut tertawa. Rasa malu yang tadi membuatku marah berganti tawa yang
mengisi semua ruangan cafe. Memiliki sahabat seperti dia adalah takdir yang
indah bagiku. Persahabatan yang kami jalin sejak SMP membuatku merasa masih
sangat muda. Setiap bertemu dengannya dan bercanda dengannya masih saja
membuatku merasa seumuran siswa SMP, bahkan sampai sekarang saat kami berusia
dua puluh empat tahun.
Dua bulan lagi
Zica akan menikah dengan seorang cowok pilihan ibunya. Awalnya, dia sempat
menolak perjodohan, tapi setelah melihat dan berkenalna dengan calon suaminya,
akhirnya dia menyerah. Cowok yang menjadi bakal suaminya, namanya Roni, dia
bukan sembarang cowok. Dia tampan, berpendidikan tinggi plus punya selera humor
yang bagus. Sebenarnya, Zica punya pacar yang sudah dikencaninya kurang lebih
delapan bulan. Tapi sekarang cewek-cewek sudah tidak bodoh lagi, mereka jauh
lebih relatistis dari apa yang dibayangkan seorang cowok. Meskipun pacarnya itu
tampan dan penurut, tapi kerjaannya cuma main game seharian. Makannya masih
suka minta traktir sama Zica, dari awal aku nggak pernah suka sama pacarnya
itu.
Kembali lagi ke
topik awal. Dulu.. duluuuu sekaliiii…. Zica pengen banget belajar main gitar, tapi
sayangnya dia nggak pernah mau memotong kukunya yang indah itu. Akhirnya dia
menyerah. Sebagai sahabat, aku berniat untuk menghiburnya dengan mengatakan,
“Udah… nggak usah sedih, nanti kalo kamu nikah aku bakalan nyanyi buat kamu
sambil main gitar…” dan si gila Zica itu menganggap janjiku serius dan
sekarang… aku ditagih janji.
Belajar main
gitar… harus mulai dari mana? Pertama, aku mencari lagu yang bakalan aku
nyanyikan. Kedua, cari cord gitar. Ketiga, praktekin. Simple banget, gampang
banget ngerencanainnya, tapi kenyataan nggak seindah harapan. Baru belajar cord
gitar, ujung-ujung jariku memerah dan sangat sakit, bahkan hanya disentuh
sedikit saja aku bisa berteriak kesakitan.
“Aku nyerah!!!
Sumpah… belajar main gitar itu nggak gampang Zica!” kataku ketika dia menelpon
pagi tadi.
“Setahuku Dita
itu nggak gampang nyerah…” ujarnya dengan suara yang sangat lembut, tujuannya
mungkin untuk nyemangatin, tapi di kupingku terdengar sebagai paksaan. “Kamu
sih belajarnya cuma lewat nonton video-video di internet… kursus dong! Banyak
kok yang mau ngajarin kalo kamu mau bayar…”
“Enak aja… Aku
harus ngeluarin uang tabungan liburanku cuma buat nyenangin kamu… hello!!!
Ogah…”
“Kurang modal
banget sih!”
“Emang…!! berasa
rugi aja ngeluarin uang demi kamu” kataku sambil tertawa.
“Emmm… Gini aja,
Kak Roni punya teman yang katanya sih anak band, mau nggak aku kenalin..?”
“Emang dia mau
ngajarin? Gratis?”
“Entar aku tanya
dulu ma orangnya, orangnya cakep anyway…”
“So?” tanggapku datar.
“Yah… sekedar
info saja. Aku udah bosan ngeliatin kamu jomblo sampai empat tahun..”
“Emangnya
masalah buat kamu? Aku jomblo tapi bahagia kok… I’m single and very happy…”
“Yaa udah… kalo
nggak ada niatan pacaran, nanti kamu jangan centil di depan temannya Kak Roni
yah…”
“Dasar… sejak
kapan aku centil?”
“Jadi aku nggak
usah promosiin kamu nih? Jangan nyesal… dia cakep loh”
“Nggak usah…
punya cowok itu ngerepotin…” kataku sambil tertawa lebar.
“Uuuu… alesan
para jomblo, klise tau..! Udah… gue tutup telponnya. Bye…”
Tiga hari
setelahnya percakapan itu, kami janjian untuk bertemu di sebuah cafe. Aku
datang lebih awal dari yang lainnya sambil membawa gitar di punggungku. Aku
duduk di meja paling pojok sambil menyeruput lemon tea yang aku pesan
sebelumnya. Aku melihat sekelilingku. Tempat ini lumayan ramai hari ini,
meja-meja tak ada yang kosong. Sambil menunggu aku menatap keluar jendela, di
sana juga ada beberapa meja bundar yang berjejer dengan kursi yang
mengelilinginya. Taman cafe ini cukup luas untuk dijadikan ruangan tambahan.
Tak sengaja retina mataku menangkap sosok aneh disana. Cowok dengan celana jean
yang robek bagian lutut, rambut gondrong sebahu, jaket jeans kumal ditambah
sepasang sneakers yang berlumpur. Jaman sekarang masih ada mahluk kayak
beginian, pikirku. Aku menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala sambil
geleng-geleng, He ins’t my type. Karena asik memerhatikannya, tak sadar
ternyata dia juga menatap kearahku. Dengan salah tingkah, aku membuat pandangan
dan memalingkan muka. Sesekali aku melirik kearahnya, dan dia masih memandang
ke arahku.
Aku mulai risih.
Apa ada yang salah dengan penampilanku. Selain gitar yang berdiri disampingku
tak ada yang aneh menurutku. Skinny jeans biru muda dengan kemeja kotak-kotak
merah hitam dan sepasang sneakers putih. Tak ingin bertambah risih, aku
mengabaikannya. Tak lama setelah itu, Zica dan Kak Roni muncul di balik daun
pintu sambil bergandengan tangan. Aku melambaikan tangan ke arah meraka sambil
tersenyum aneh.
“Udah lama ya?”
tanya Kak Roni.
“Lumayan…” jawabku
tersenyum.
“Dirga mana ya?”
Tanya Zica sambil menatap ke sekeliling cafe
Kak Roni
mengeluarkan handphone dari dalam saku dan menelpon seseorang.
“Dimana? Gue
udah di cafe nih…” katanya sambil menatap ke arah taman. “Tunggu di situ aja..”
lanjutnya.
“Tuh dia di
luar, di taman…” Katanya lagi sambil berdiri dan berjalan menuju taman. Zica
mengekor di belakannya. Aku masih duduk diam. Kupandangi mereka ditaman. Cowok
kumal tadi menjabat tangan Kak Roni sambil tersenyum. Cowok itu yang bakalan
ngajarin gue main gitar. Cakep? Diliat dari sisi manapun dia biasa saja, sangat
biasa malah. Zica melambaikan tangan ke arahku. Aku beranjak dari kursi dan
bergabung dengan mereka. Tak ada yang spesial hari itu, hanya tukaran kontak
dan janjian untuk ketemuan lagi di studio musiknya.
Namanya Dirga
Anggara. Umur 27 tahun, sarjana ekonomi yang profesinya sebagai anak band. Dia
punya bisnis sanggar seni khusus seni musik, dia ngajarin orang main musik.
Sekedar informasi dari Zica. Hari ini aku janjian bertemu dengannya di studio
musik pribadinya, yang biasa dijadikan tempat les musik. Ada sesuatu yang
mengganggu pikiranku. Setakuhu, setelah menonton sekian banyak drama korea,
orang yang belajar gitar itu harus rela tangannya dipegang dan juga dipeluk
oleh sang guru, dan dari situlah awal cerita romantis dimulai. Tapi, si cowok
kumal itu bakalan jadi guruku, gue nggak rela dipeluk sama dia… bukannya sok
suci, tapi membayangkan rambut gondrongnya saja sudah membuatku pusing.
Aku berdiri
didepan sebuah toko kecil, tepatnya studio music yang lumayan kecil.
Kelihatannya sangat sepi dari luar, mungkin karena tempal les music ini tidak
bagus, atau mungkin karena hujan yang masih rintik-rintik membuat para manusia
malas berkunjung ke tempat ini. Meskipun tempat ini kecil, tapi gaya bagunannya
lumayan keren. Dinding luarnya terbuat dari kaca. Orang yang berada di dalam
ruangan bebas melihat ke arah luar. Ruangan les ditata lebih mirip sebuah cafe,
beberapa meja dan kursi disusun berhadapan di pinggir dinding kaca. Studio
musik yang kedap suara terletak di ruangan yang paling dalam. Dua ruangan
studio itu dipakai untuk latihan para anak band. Pintunya tertutup rapat.
Ruangan les tempatku berdiri sekarang sangat sunyi, hanya ada Dirga yang sedang
duduk di kursi yang berdampingan dengan dinding kaca sambil memegang gitar di
pangkuannya.
“Hai..” kataku
basa-basi sambil duduk di hadapannya.
“Emm” jawabnya
tanpa memandang ke arahku.
“Kok sepi? Lagi
libur ya?” tanyaku mencoba membuka percakapan.
“Iya.. jam-jam
segini biasanya emang sepi. Di studio cuma ada teman gue yang latihan..”
jawabnya dengan nada yang lumayan akrab. “Gue ngajarin loe disini aja…”
lanjutnya. Aku hanya tersenyum sambil mengeluarkan gitar dari tas gitarku.
“Coba sini..”
katanya sambil meraih gitar dari tanganku.
Jreng… jreng…
beberapa kali dia membunyikan gitar sambil menyetel senar-senar gitar. Setelah
merasa cukup, dia menjulurkan kembali gitar ke arahku. Ternyata, belajar gitar
tak seromantis di drama-drama korea. Tak ada pengangan tangan, tak ada pelukan
dari belakang. Dirga hanya duduk di depanku dengan sebuah gitar di pangkuannya,
sambari menyuruhku untuk menekan cord-cord gitar yang dia praktekkan di
depanku. Tak ada sama sekali unsur romantis ketika belajar main gitar, please…
jangan tertipu drama korea. Yang kudapatkan hanyalah perih dan sakit di
ujung-ujung jariku. Sekuat apapun aku menekan senar gitar, bunyi yang keluar
masih terdengar sangat aneh.
“Awalnya memang
gitu… nanti kalo udah terbiasa ujung jari loe nggak bakalan sakit lagi.
Tungguin dulu ujung jari loe kapalan…”
Jari-jari
manisku nan indah harus bersiap menjadi jari-jari yang kasar nan kapalan.
Pengorbanan yang cukup besar demi nama sebuah persahabatan.
“Istirahat dulu
deh…” katanya ketika melihatku mengerutkan dahi menahan sakit. Dia berdiri dan
berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan dan kembali dengan dua gelas jus
jeruk di tangannya.
“Nih… minum
dulu…” katanya sambil menyodorkan minuman ke arahku.
Meskipun dia
kumal, setidaknya dia adalah orang yang lumayan bersahabat. Dia tidak terlalu
membuatku canggung dengan panggilan loe-gue nya membuatku cukup nyaman dan
cepat beradaptasi dengannya. Kami banyak bercerita tentang Zica dan Kak Roni.
Mereka berdua menjadi topic pembicaraan yang lumayan seru.
“Jadi Kak Roni
dulunya juga nggak mau di jodohkan?” tanyaku penasaran
“Iya, katanya
sekarang bukan jamannya lagi Siti Nurbaya. Tapi pas kenalan sama Zica dia
curhat ke gue kalo Zica itu beda ma cewek lain…”
“Jelas beda…
cewek lain mana ada yang segila Zica…” kataku sambil tertawa.
“Loe setuju
nggak ma perjodohan?” tanyanya tiba-tiba.
“Emmm… gimana
yah… setuju-setuju aja sih kalo cowoknya cakep plus tajir” jawabku sembrono.
“Tapi kalo
misalnya loe dijodohin sama cowok kumal kayak gue? Sudah kumal.. nggak tajir
lagi, cuma anak band.. mau nggak?”
“Emm…”
“Nggak bisa
jawab artinya nggak mau kan?”
Lagi-lagi aku
hanya tersenyum. Tak ada jawaban pasti tentang itu. Aku memutuskan tidak
pacaran dan jomblo sampai empat tahun bukannya tanpa alasan. Aku hanya jenuh
dengan proses pacaran yang bagiku membuang-buang waktu karena tidak ada ujung
yang jelas. Mau dibawa kemana hubungan? Sampai sekarang aku belum pernah
memikirkan untuk menikah jadi memikirkan masalah pacaran tidak pernah lagi
terlintas di pikiranku. Realistis. Bagiku cewek sekarang harus banyak-banyak
berfikir. Cowok hampir semuanya hanya mencari keuntungan pada pasangannya. Akan
beda ceritanya ketika mereka memutuskan untuk menikah bukan lagi saling mencari
keuntungan tapi ada komitmen untuk saling menjaga. Masih sulit bagiku menemukan
cowok yang sejalan dengan pemikiranku.
Aku bertemu Dirga
tiga kali seminggu. Karena sering bertemu, aku sudah nyaman dengan kekumalannya.
Dengan gondrongnya yang berantakan. Dengan sepatunya yang bersebu serta jaket
jeansnya yang kumal. Dari kesekian banyaknya kekurangannya, dia punya satu
kelebihan yang sangat aku suka. Dia harum. Aku tidak berpikiran aneh-aneh.
Setidaknya aroma tubuhnya membuat orang yang berada di sekitarnya merasa
nyaman.
Hari ini aku
datang lebih awal ke tempatnya. Ruangan les agak ramai oleh anak-anak remaja
yang sedang berkumpul sambil memangku gitar. Beberapa diantaranya masih sangat
kecil. Gitar yang ada dipangkuannya hampir melebihi tinggi badannya. Dirga
terlihat sangat sibuk mengatur siswa-siswanya. Dengan suara yang lantang dia
mulai mengajar. Siswa duduk rapi dihadapannya membentuk barisan setengah
lingkaran. Dirga yang duduk dihadapan mereka mulai memetik gitarnya.
Siswa-siswanya mengikuti jari-jemari gurunya. Keseriusan dan antusiasme mereka
terpancar jelas. Tak terasa hampir dua jam aku memperhatikan mereka. Setelah
satu-persatu siswa memainkan gitar, les gitarnya berakhir. Para siswa
membereskan alat musik mereka dan kembali duduk rapi. Sebelum mereka bubar
ternyata ada satu prosesi yang wajib dilakukan. Dirga membawakan sebuah lagu
sebelum menutup kelas.
Jreng… jreng…
petikan gitar yang terdengar sangat syahdu. Keheningan ruangan membuat bunyi
gitar semakin terdengar lebih indah. Melihat Dirga duduk disana memainkan gitar
membuatku merasakan aura yang terpancar dari seorang seniman. Kharisma yang
tidak semua orang memilikinya. Dirga mulai bernyanyi…
Mungkinkah kau tau, rasa cinta yang kini membara..
Yang masih tersimpan dalam lubuk jiwa..
Ingin kunyatakan, lewat kata yang mesrah untukmu..
Tapi ku tak kuasa untuk melakukannya…
Mungkin hanya… lewat lagu ini.. akan kunyatakan rasa
Cintaku padamu… rinduku padamu… tak bertepi
Mungkin hanya… sebuah lagu ini.. yang akan selalu
kunyayikan
Sebagai tanda betapa aku inginkan kamu…
Aku menatap
Dirga dalam. Suaranya yang merdu membuatku terlena dalam lirik lagunya. Dia
juga menatap ke arahku. Aku tersenyum ke arahnya. Dia juga tersenyum. Ada
sebuah sisi di hatiku yang membuat jantungku berdetak lebih kencang daripada
biasanya. Aku berpikir aneh, bahkan terbersit dipikiranku, sedikit berharap
lagu itu dinyanyikan untukku. Dia menyanyi dengan penuh penjiwaan sambik
menatapku, seakan-akan dia berbicara padaku. Pikiranku mulai keluar batas. Aku
mulai grogi, aku menatapnya lebih dalam. Ya… dia berbicara kepadaku. Lagu ini
seakan dinyanyikan untukku. Tatapan matanya membuatku berpaling. Aku tak bisa
membalas dengan tatapan yang sama. Ada apa denganku?
Ada yang salah
denganku sejak hari itu. Setelah sekian lama jantungku tidak berdetak kencang, Dirga
berhasil membuatku bingung. Lagu yang dia nyanyikan membuatku melihat Dirga
dari sisi yang berbeda. Dia bukan lagi si kumal yang dulu. Seberantakan apapun
gayanya, dia terlihat keren di mataku. Aku takut. Takut kalau saja aku
menyukainya. Ada yang aneh dalam otakku. Kupaksakan untuk tidak selalu
memikirkannnya. Setiap saat aku melihat gitar yang bersandar dipojokan kamarku,
aku memikirkannya. Aku yang dulunya malas untuk belajar main gitar, sekarang
justru merindukan hari dimana aku akan bertemu Dirga. Kupaksakan otakku untuk
berpikir logis. Kupaksakan otakku mencerna berbagai alasan untuk tidak menyukai
Dirga. Berbagai macam alasan kubuat demi menghilangkan rasa itu. “Anak band itu
playboy..”, “Dia cuma menyanyi biasa… jangan ke-Gran Dita..”, “Emangnya apa
bagusnya Dirga? Kumal..” berbagai alasan itu tidak bisa memperlambat detakan
jantungku setiap bertemu dengannya. Aku sadar, aku mulai tertarik padanya… dan
aku benci itu. Aku benci rasa itu. Rasa yang sangat sulit dipendam dan tak akan
mungkin pernah bisa aku ungkapkan.
Tak terasa
hampir dua bulan aku berkenalan dengan Dirga. Karena dia, permainan gitarku
sudah lumayan bagus, meskipun aku hanya belajar satu lagu, lagu istimewa untuk Zica.
Bertemu Dirga semakin berat. Kutanamkan diotakku kalau Dirga bukan orang yang
spesial, kelebihan dia cuma suaranya yang merdu.
“Akhir-akhir ini
loe kelihatan nggak semangat… udah bosan belajar gita ya?” kata Dirga sambil
menatapku santai.
“Nggak kok… “
jawabku berusaha sesantai mungkin. Akhir-akhir ini aku berusaha untuk menjaga
jarak dengan Dirga. Aku takut menyukainya lebih dari sekarang. “Aku balik dulu
ya… buru-buru soalnya”lanjutku sambil berdiri meninggalkannya.
Aku menjaga
hubungan hanya sebatas siswa dan guru, bahkan menganggapnya hanya teman
sekarang susah bagiku. Ketika rasa itu sudah muncul, butuh waktu yang lebih
banyak untuk melepaskannya pergi, karena melupakan seseorang tak secepat ketika
jatuh hati padanya.
“Gue ada salah
ya? Kok gue ngerasa loe ngehindar sih?” tanyanya santai saat kami bertemu lagi.
“Ahh… nggak kok.
Perasaan kamu aja kali..” jawabku. Aku sudah merasa lebih baikan setelah
menghindarinya.
“Loe bahkan
nggak pernah memandang gue kalo lagi bicara… gue ada salah ya?” tanyanya lagi.
“Nggak kok…”
jawabku dengan berusaha tersenyum.
“Mungkin loe
lagi ada masalah ya? Mau gue hibur nggak?”
“Boleh…”jawabku
sesantai mungkin.
“Oke… “ katanya
sambil meraih gitar yang ada di sampingnya.
Jreng… jreng…
Lagi-lagi gue terperangkap olehnya. Dia terlihat berbeda. Aku kelabakan menata
detak jantung yang semakin cepat. Aku yakin mukaku memerah ketika menatapnya.
Dia mulai bernyanyi.
Pernah ku simpan jauh rasa ini…Berdua jalani
cerita..
Kau ciptakan mimpiku… Jujurku hanya sesalkan
diriku..
Kau tinggalkan mimpiku… namun kuhanya sesalkan
diriku..
Ku harus lepaskanmu… melupakan senyummu…
Semua tentangmu.. tentangku… hanya harap jauh..
Ku jauh mimpiku, dengan inginku…
Aku terdiam
mematung. Aku merasa lagu itu untukku. Aku merasa kalau dia juga merasakan hal
yang sama, tapi dia harus melepaskanku. Aku berharap dia tau perasaanku,
walaupun aku tak pernah mengungkapkannya. Aku merasa seperti orang bodoh yang
menunggu balasan perasaan. Harapan yang tak kunjung berbalas. Aku merasa
menjadi pemeran sebuah kisah cinta yang tak pernah menjadi kisah cinta yang
sebenarnya, tak pernah ada ucapan pengakuan dari lawan peranku. Aku merasa
dilepaskan untuk tidak lagi menyukainya.
Lirik lagu ini
sedih, membuatku hampir hilang kontrol. Mataku memanas, ada perasaan sedih
merasukiku. Perasaan ketika harus melepaskan sesuatu yang sangat didambakan.
Perasaan putus asa, seperti perasaanku sekarang. Tak tau kenapa lagu itu terasa
sebagai ucapan perpisahan yang mengharukan. Perasaan sedih dan putus asa ketika
harus berpisah meskipun tidak pernah bersama. Kisah yang berakhir meskipun tak
pernah diawali.
Aku mengubur
perasaanku dalam-dalam sejak hari itu. Ketika melihat Dirga, ada sedikit
kemarahan yang muncul dihatiku. Marah kepadanya karena seakan melepaskanku
tanpa pengakuan. Meskipun, aku tak yakin dia merasakan perasaan yang sama
denganku.
“Orang yang bawa
gelas, tidak pasti akan minum…” itu kalimat Zica ketika aku mencurahkan isi
hati kepadanya. “Jangan berlebihan… jangan ke-Gran… Apalagi Dirga nggak pernah
ada tanda-tanda suka ma kamu. Aku nggak mau kamu berharap sama cowok yang nggak
pernah ngasih respon” Jelasnya panjang lebar.
“Kalau masalah
nyanyi-nyanyi, itu mah kerjaannya si Dirga… Dia itu anak band, wajarlah kalau
ngehibur orang pake lagu.. please deh Dita… jangan galau gitu, itu bukan kamu
banget!” lanjutnya.
Aku memutuskan
untuk berhenti berharap. Aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi dari Dirga.
Aku tak mau merasa kecewa dengan perasaannya yang tak pernah aku tau. Tipe
cowok cuek kayak Dirga berpeluang besar meninggalkan kekecewaan. Pikiran
logisku berhasil menekan perasaan yang tak seharusnya kurasakan. Dirga adalah
teman yang baik, perasaanku padanya mungkin hanya terbawa suasana saja. Itu
kesimpulanku.
“Hari ini
terakhir belajar gitar sama gue kan?” tanya Dirga.
“Iya… besok kan
udah acaranya” jawabku santai.
“Mau nggak gue temani
nyanyi besok? Maksud gue… loe nggak solo, kita duet!”
“Emmm… ide bagus
sih, Aku bahkan rela kalo kamu mau gantiin aku berdiri di panggung..”
“Nggak gitu
juga… gue maunya sama loe…”
“Emmm… boleh
juga”
Kami memutuskan
untuk berduet. Hari itu kami latihan gitar dan bernyanyi. Aku lebih bersemangat
untuk memberikan hadiah pada Zica. Tak ada hal lain di pikiranku selain membuat
Zica senang di hari terakhirnya menjadi lajang.
“Gue antar loe
pulang..” Katanya saat aku ingin melangkah keluar pintu.
“Nggak usah…”
kataku.
“Gue mau keluar,
sekalian antar loe pulang,,, itung-itung sebagai hadiah terakhir loe jadi murid
gue..”
“Enak banget
jadi muridnya kamu, udah diajarin gratis, Eh… diantar pulang lagi…” kataku
bercanda sambil tertawa kecil.
Dirga
mengantarku pulang dengan sepeda motornya. Meskipun aku berusaha untuk menekan
perasaanku, tak kupungkiri detakan jantungku kembali berbeda. Aku senang dan
nyaman dengannya. Tak semestinya aku kehilangan teman seperti ini hanya karena
rasa itu. Perjalanan terasa sangat singkat.
“Gue balik dulu.
Besok jangan lupa dandan yang cantik” katanya ketika kami sampai di depan pagar
rumahku.
“Iya.. kamu jug
dandan yang rapi! Jangan malu-maluin aku sebagai pasangan duet kamu..”
“Oke… gue nggak
bakalan malu-maluin loe deh.. Dirapiin dikit gue bakalan secakep artis korea
loh!”
“Narsis banget…”
“Gue jalan dulu…
jangan rinduin gue ya..” Katanya lagi sambil tertawa.
Aku memandangnya
pergi sampai dia hilang dibalik pagar. Ada pikiran yang muncul di kepalaku…
seandainya… seandainya… aku tersenyum sendiri. Aku memutuskan tak ingin
berharap tapi masih saja berpikir kata seandainya.
Gedung
pernikahan Zica terlihat begitu indah. Dekorasi gedung yang serba putih
dilengkapi dengan bunga-bunga lili putih yang sangat indah. Sederhana tapi berkelas,
itulah gaya Zica. Dia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun panjang putih
yang yang menutupi kulit putih bersihnya. Kak Roni sangat rapi dengan balutan
tuxedo hitam dan sebatang bunga lili putih kecil terselip dikantung baju
sebelah kirinya. Mereka berdua bak raja dan ratu malam ini. Resepsi pernikahan
mala mini bernuansa putih, berbeda dengan acara akad nikah tadi pagi yang
bernuansa adat bugis Makassar.
Kupandangi
sekelilingku, Dirga belum juga muncul. tak ada cowok dengan rambut sebahu yang
muncul. Aku merasa menghadiri pesta ala Eropa, ditengah-tengah para tamu
undangan yang memakai gaun putih dan tuxedo hitam.
“Hai lady…” Aku
dikagetkan dengan orang yang tiba-tiba muncul dari belakangku. Cowok tinggi
dengan rambut cepak memakai tuxedo hitam yang sangat cocok dibadannya. Aku
pangling. Dirga.. dia kelihatan sangat berbeda. Rambut gondrongnya berganti
dengan rambut cepak yang rapi. Harus jujur aku akui dia terlihat sangat tampan,
dan lagi-lagi… Aku merasa aliran listrik masuk kedalam tubuhku. Aku gugup.
“Not bad lah…
kamu cantik!” Katanya sambil menatapku dari ujung kepala samapai ujung kaki.
Mini dress putih selutut dengan lengan sesiku di lengkapi dengan high heels
perak yang lumayan menyilaukan mata. Rambutku yang aku ikat keatas dan kuhiasi
dengan ikat rambut bunga berwarna putih.
“Emmm…
Ma..makasih” ucapku dengan sedikit gugup.
“Loe kok gugup?
Salah tingkah sama gue?”
“Nggaklah..”
jawabku menghindar
Moment yang Zica
tunggu-tunggu akhirnya tiba. MC mempersilahkan kami menaiki panggung untuk
membawakan sebuah lagu. Dirga dan aku duduk berdampingan disebuah kursi dengan
gitar dipangkuan masing-masing. Dirga sangat tampan dengan gitar putih di
pangkuannya. Kami mulai memetik senar gitar… dan Dirga mulai bernyanyi.
Dengarkanlah… Wanita pujaanku…
Malam ini akan kusampaikan
Hasrat suci kepadamu dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini
Aku ingin mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini, akulah yang terbaik
untukmu…
Aku bahagia mendengarnya.
Tak ada alasan kenapa, hanya saja.. aku bahagia. Aku kemudian menyanyikan lirik
bagianku.
Dengarkanlah lelaki impianku..
Malam ini akan kusampaikan
Janji suci satu untuk selamanya
Dengarkanlah kesungguhan ini
Aku ingin mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini, akulah yang terbaik
untukmu…
Zica dan Kak
Roni juga terlihat sangat bahagia. Begitupun aku. Melihat sahabat terbaikku
bahagia, aku juga merasakan hal yang sama. Dan menatap orang yang sedang
menyanyi disampingku… semakin membuatku bahagia. Aku sadar akan perasaanku. Aku
menyukainya. Aku senang dan nyaman dengannta, tapi aku tak ingin berharap lebih
dari sekarang. Aku menikmati perasaan menyukainya dengan batasan-batasan yang
aku buat sediri. Aku tidak suka menyukai sesuatu dengan berlebihan. Aku
menikmati perasaanku menyukaimu, Dirga… menikmati perasaan bahagia ketika
bernyanyi bersama, menikmati perasaan senang ketika berbicara denganmu. Cukup
begini saja, kebahagiaan yang sederhana.
Sudah tiga bulan
sejak Zica pindah keluar kota. Dia mengikuti Kak Roni yang pekerjaannya harus
keluar kota. Hidupku akhirnya sepi. Sebagain besar waktuku kuhabiskan dirumah
dan dibutik yang baru-baru aku buka. Bisnis kecil-kecilan ini sudah lama aku
rencakan. Untungnya, semuanya kesampaian saat Zica sudah pergi, setidaknya ada
sedikit kesibukan untuk mengobati kesepian. Emm… Dirga dan aku kadang bertemu
untuk sekedar lunch ato dinner. Nggak ada yang spesial. Aku yakin dia hanya
menganggapku teman. Aku memang menyukainya sepihak, tapi aku tau posisikku. Aku
tak pernah bertingkah lebih dari seorang teman di hadapannya. Aku menikmati
peranku sebagai teman tanpa harus menjaga image atau tampil lebih di depannya.
Tiba-tiba hapeku
bergetar. Ada pesan dari Dirga
Dirga : Hi… ntar malam mau dinner ma Aku nggak?
Aku : Dimana? Gratis nih?
Dirga : Gratis… tapi kita makannya nggak berduaa,
nggak papa kan?
Aku : Aku nggak berharap makan berduaan ma kamu.
Emang makan ma siapa?
Dirga: Sama si Roni ma Zica
Aku: Emang mereka ada di sini?Kok Zica nggak
ngabarin sih..
Dirga: Makanya gue yang ngabarin…
Aku: Ohh.. oke. Emang makannya mau dimana?
Dirga: Ntar gue jemput. See ya!
Malam itu Dirga
menjemputku di butik. Dia agak beda dari biasanya.
“Tumben kamu
rapi.. santai aja kali… kita makannya bukan sama presiden, Roni ma Zica doang!”
Kataku menyindir.
“Kita makan di
restaurant yang mahal… harus rapi dong”
Tak lama kami
sampai di sebuah resto yang cukup mewah. Seorang ibu paruh baya melambaikan
tangan kearah kami. Mungkin dia salah orang, pikirku. Semakin kami mendekat
senyuman Ibu tadi semakin lebar. Aku berbalik memandang Dirga yang berjalan
disampingku. Dia juga tersenyum kearah Ibu tadi. Kupandangi wajah-wajah
disekitar Ibu itu, tak ada wajah Zica dan Roni. Disana Cuma ada tiga orang
Ibu-ibu dan seorang Bapak yang tersenyum lebar ke arah kami.
“Malam Ma.. Pa..
Kenalin, ini teman Dirga.. Namanya Dita”
Aku bingung.
Kujabat tangan ibu-ibu dan Bapak yang ada disekeliling meja.
“Dita Tante..
Dita Om…” Aku masih dalam keadaan bingung.
Dinner ini
adalah dinner yang paling membuatku grogi. Aku menjadi satu-satunya orang asing
diantara keluarga besar Dirga. Mama dan Papa serta tante-tantenya yang hadir
memerhatikanku. Aku jadi grogi. Aku tau Dirga suka bercanda, tapi kali ini
bercandaannya nggak lucu. Aku makan dengan perasaan dongkol. Mereka tak banyak
bicara padaku. Mereka menikmati makanan mereka masing-masing tapi mata mereka
tak pernah melepaskanku dari pengawasannya.
Dirge terlihat
santai dan tidak pernah menghiraukan perasaanku. Sampai akhirnya kami selesai
makan dan orang tua serta tante-tantenya meninggalkan kami berdua.
“Bercandaan kamu
nggak lucu…” Kataku penuh emosi.
“Gue nggak
bercanda,.. Gue bohong klo kita makan sama Roni dan Zica karena gue yakin kalo
gue bilang kita bakal makan ma keluarga gue, gue yakin loe pasti nggak mau”
“So? Maksudnya apa
gue dibawa kesini?”
“Nggak ada
maksud apa-apa”jawabnya santai,”Gue cuma pengen ditemanin aja makan ma keluarga
gue”
“Ohh… jadi aku
terlihat gampangan dimata kamu? Gampang diajak
kemana-mana, gitu?” Mataku mulai memanas.
“Nggak kok, gue cuma
pengen ngenalin loe aja ma orang tua gue..”
Tak terasa air
mataku jatuh. Aku marah dengan jawabannya yang seakan-akan cuma memanfaatinku. Aku
kecewa karena ada sisi dihatiku yang berharap lebih. Aku marah dengan keadaan
yang memojokkanku.
“Loe marah ya? Gue
minta maaf… gue nggak ada maksud buat bikin marah…”
Air mataku terus
saja menetes. Dia mendekat ke arahku berusaha untuk menenagkanku. Aku marah
pada diriku sendiri. Tak seharusnya aku berharap sesuatu yang lebih dari
seorang yang menganggapku tak lebih dari seorang teman. Aku salah paham. Aku sendiri
bertanya-tanya, apa yang aku harapkan? Kutarik nafas dalam-dalam, kuseka air
mataku dan mencoba menenangkan diri.
“Kamu bisa antar
aku pulang sekarang kan?” Aku kehilangan kata-kata. Beribu umpatan yang ada
dikepalaku siap untuk kulontarkan dihadapan Dirga, tapi lidahku kelu. Aku takut
dia akan bertanya apa yang sebenarnya aku harapkan. Ini cuma makan malam biasa
dengn orang tua seorang teman. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam.
Banyak hal yang
kupikirkan sejak semalam. Kebodohanku karena salah paham hampir membuatku malu.
Sekarang persaanku sudah kembali normal. Menyukai seseorang sama dengan
menikmati setiap moment kebersamaan, dan kekecewaan tadi malam juga bagian dari
moment itu. Sebagai orang yang menyukai sepihak, aku sudah siap dengan segala
kekecewaan yang akan muncul. Menyukainya sendiri tanpa mengharap balasan
bukanlah sebuah dosa.
Handphone-ku
bergetar… Pesan dari Dirga.
Dia mengirim
sebuah video. Didalam video itu Dirga masih mengenakan baju yang dikenakannya
semalam sambil duduk diatas kursi dengan gitar coklat dipangkuannya. Dia terlihat
gugup. Apa lagi ini? pikirku.
“Gue minta maaf…
Gue tau kalau loe kecewa sama gue… Gue mau ngehibur loe...” ucapnya
terbata-bata,”Sekarang gue gugup banget... sebenarnya ada lagu yang mau gue
nyanyiin buat loe… ahh ini bukan buat loe sepenuhnya juga sih… tapi buat
Papanya kamu.. Gue serius!” Dia berhenti berbicara sejenak. Dengan tatapan
serius dia menatap ke kamera,“Emmm… Please tell your Dad..” lanjutnya.
Dia mulai memainkan gitarnya. Alunan melody acoustic
yang indah terdegar sangat romantis. Alunan nada indah ini yang akan selalu
membuatku jatuh hati padanya. Aku mulai tersenyum.. melihat tingkahnya, aku
suka. Dan dia mulai bernyanyi..
Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time,
See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on
the same side
Cause very soon I'm hoping that I...
Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the
rest of my life
And give her the best of me 'til the day that I die,
Yeah.. I'm
gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever
seen
Can't wait to smile
When she walks down the aisle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter…
Di video itu
Dirga terlihat canggung, dia tertawa sambil menutupi wajahnya setelah bernyanyi…
pelan-pelan dia kembali duduk dengan wajah yang serius dan kembali berbicara.
“Dita… Gue… Eh..
Ah.. Aku minta maaf selama ini nggak memperlihatkan perasaanku yang sebenarnya.
Aku suka kamu sudah lama. Emm… sejak kamu ngeliatin gue dari balik kaca di cafe
dulu. Zica banyak cerita tentang kamu, dan semua tentang kamu membuatku
tertarik mengenalmu lebih jauh… sebenarnya, gue pernah hampir nyerah. Aku pikir
kamu nggak tertarik denganku, aku merasa dulu kamu pernah menghindar dariku. Tapi,
tadi malam pas ngelihat kamu nangis… aku jadi berfikir, kamu juga suka sama
aku. Kamu berharap sesuatu yang lebih dari aku. Em… maaf karena yak pernah
tegas mengakui perasaanku… Huff.. kok Aku gugup gini yah… Aku mau bilang
sesuatu… Dita, will you marry me?” katanya dengan senyuman yang sangat lebar. Dan
video itu berakhir.
Tak terasa air
mataku jatuh. Aku tersenyum bahagia. Lagu romantis yang keluar dari bibirnya
aku anggap sebagai pengakuannya. Aku banyak belajar tentang perasaanku selama
ini. Menyukai seseorang bukan tanpa alasan. Aku menyukai Dirga dengan banyak
alasan “MESKIPUN”… meskipun dia kumal, aku suka. Meskipun dia anak band, aku
suka. Berbagai macam alasan itu membuatku mengenalnya jauh lebih banyak. Harapan
yang selama ini aku anggap tak berbalas ternyata bersambut juga. Tak sabar
rasanya aku ingin bertemu dengannya dan meneriakkan jawabanku dengan lantang…
“Yes.. I will…”
***
Phoenix Andita
Makassar, 2
November 2015
5:48 PM
5 komentar:
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kisah yang indah. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Makasih sudah baca cerita ini, Ron..
thank you so much sdh pake nama aku!! Love you Bae.....<3
I can't imagine, I was married at your story! omo!!! ^^
My First Love nya kapan di update? Penasaran......,
Posting Komentar