Phoenix Library

Just Blogger Templates

Kamis, 29 Januari 2015

My First Love Part 3



“Woii… bangun…!” samar-samar kudengar seseorang membangunkanku. Apa yang terjadi? Pikirku dalam hati.
“Woii…. Udah sore nih! Bangun!”
Perlahan kubuka mataku. Astaga…. Aku tertidur di atas sofa di kontrakan Ryan. Daritad isuara yang kudengars amar-samar ternyata suara Ryan. Aku bangun dan duduk dengan penuh kebingungan. Kenapa aku sampai bisa tertidur seperti ini? Jangan-jangan Ryan masukin obat tidur di minumanku.
“Cewek kok tidurnya kayak kebo’” Lanjut Ryan sambil memukulkan buku dikepalaku.
“Ouch.. kenapa aku bisa tidur disini?” tanyaku. Seingatku aku baca buku disamping Ryan dan akhirnya tak sadarkan diri.
“Aduh…. Udah tidurnya kayak kebo’, eh… pake lupa segala. Tadi itu loe baca buku sambil tidur dimeja,  mungkin karena capek tidur telungkup loe pindah ke sofa dan membiarkan gue ngerjain tugas sendirian.”
“Kok aku tidak ingat ya?” pikirku. Mungkin saja Ryan benar karena biasanya di rumah aku memang selalu seperti itu kalo lagi tidur pulas.
“Tapi, kok aku bisa tertidur? Jangan-jangan kamu masukin obat tidur di minumanku… atau kamu ngehipnotis aku ya?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Hahahaha… kurang kerjaan amat gue, lagian ngapain cobaa gue bikin loe tidur? Itukan sama aja gue sengaja maungerjain tugas sendiri…”
“Bisa ajakan? Diberita kriminal biasanya pelecehan itu dimulai dengan membuat si korban ketiduran” kataku sambil tersenyum dalam hati. Sebenarnya, aku tidak berfikir Ryan yang membuatku tidur. Daritadi aku memang sudah sangat mengantuk.
“Parah loe… segitunya loe mikir” katanya sambil melemparkan tugas yang sudah di print-out kepadaku. “Mending loe liat nih tugas! Kalo ada yang salah, loe betulin aja, daripada mikir yang aneh-aneh.”
Aku Cuma membalas dengan cengengesan. Dia tersenyum kearahku. Senyuman itu… manis sekali. Kupandangi wajahya,  sepertinya aku tidak asing dengan senyuman itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang yang mirip dengannya.
“Ngapain loe ngeliatin gue kayak gitu? Terpesona ya?”

What? Ternyata Ryan merhatiin gue lagi ngeliatin dia. Malu…. Dengan cepat kubuka lembaran tugas yang ada di tanganku sambil tertunduk menghindari tatapannya. Salah tingkah jadinya.
“Terpesona ya?” tiba-tiba Ryan sudah ada di depanku sambil membungkuk menatap kewajahku. Dia sangat dekat. Wajahnya berada pas di depan wajahku, napasnya bahkan terasa bertiup diwajahku. Aku jadi gugup sampai-sampai membuatku sulit untuk bernapas. Jantungku berdengup kencang, aku kaget setengah mati. Otomatis, badanku terdorong kebelakang dan kepalaku terbentur pada kayu yang ada pada sandaran sofa.
“Hahaha…” Dia tertawa puas di depanku sambil berjalan menjauhiku,
“Ryaaaaannnnnnn!!!!!” Aku menjerit keras karena jengkel yang bercampur dengan rasa malu yang luarbiasa.
Dia hanya tertawa tanpa menghiraukanku. Sebenarnya,  aku sangat malu. Aku sangat yakin wajahku sekarang merona merah,  ditambah lagi jantungku terus saja berdetak kencang. Semakin lama, rasa malu tiba-tiba berubah menjadi rasa marah.
“Aku mau pulang… permisi” kataku sambil mengambil tasku dan berjalan menuju pintu.
“Ngambek ya?” katanya. Aku tidak menghiraukannya, dan hanya berlalu dihadapannya tanpa menatap kearahnya.
“Eitss… tunggu” lanjutnya sambil menarik tanganku. “Gue antar loe pulang….”
“Nggak usah…”
“Gue antar loe pulang…” katanya sambil menatapku. Kali ini kelihatan serius.
Aku hanya menatapnya yang sibuk dengan sepeda motornya. Sepeda motor keluaran terbaru. Dia ternyata nggak kere-kere amat. Tapi… kayaknya pinjaman. Hehehe Aku tersenyum sendiri. Kedengaran Aku matrealistis, tapi sebenarnya lebih realistis saja.
“Ngapain loe senyum-senyum sendiri?” Tanyanya sambil melemparkan helmet ke arahku. Spontan, aku menangkapnya dengan sedikit terhuyung-terhuyung.
“Biasa aja dong! Ngapain pake lempar?”
“Ayo naik…” katanya, sambil mengendarai sepeda motornya.
Tanpa banyak bicara aku naik di jok belakang. Tak ada percakapan selama perjalanan, sepertinya dia sangat berkonsentrasi. Bagus sih… demi keselamatanku. Tapi bete’ juga,,,cowok yang membosankan…ckckckck.
“Makasih…”ucapku ketika sampai de depan gerbang rumahku.
“Iya…” jawabnya, kemudian pergi dengan sepeda motornya.
Aku berdiri melongo didepan gerbang rumah sambil menatapnya pergi. Aku terus menatapnya sampai dia hanya kelihatan seperti titik kecil. Ada yang aneh denganku, aku merasa kecewa karena dia pergi begitu saja. Apa yang aku harapkan? Tapi setidaknya… hahh…. Apa sih yang aku pikirkan. Ku hela nafas panjang, menghilangkan segala perdebatan dengan diriku sendiri. Tidak. Tak ada yang perlu dipikirkan… toh, tugasnya sudah kelar dan hanya perlu di kumpul secepatnya ke Pak Heru.
Sambil tersenyum dengan hati yang plong, kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah…
“Maaa…. Aku pulang…”

0 komentar:

Posting Komentar