Bingung. Kubolak-balik buku yang ada
ditanganku, aku bingung harus mulai dari mana untuk membaca buku yang diberi
Pak Heru. Melihatnya saja aku sudah tidak tertarik untuk membacanya. Seandainya
saja ini komik atau novel, tanpa disuruh pun aku akan membacanya. Tapi untuk
yang satu ini... ampun deh ! buku yang tebalnya 980 berisi tentang teori-teori
dan ulasan tentang menyusun sebuah kalimat dalam bahasa inggris. Bahasa
Indonesia saja ribet, apalagi bahasa orang bule sana.
Harusnya sih aku tidak sepusing ini, tugas
ini adalah tugas kelompok dan mestinya dikerjakan dengan partner. Tapi
mengingat sosok mahluk itu lagi membuatku ogah untuk bekerjasama dengannya.
Bagaimana bisa dia nepokin jidatku didepan orang banyak, apa sih isi otak anak
itu ? Secara kami baru berkenalan pagi tadi dan dia sudah beraninya menabuh
genderang perang denganku. Mengingatnya saja membuatku naik darah apalagi kalau
dia sudah mencul dihadapanku. Setidaknya, aku harus mengembalikan tamparan
dijidatnya juga. Enak saja dia!
“Bulatkan tekadmu Ria.... buka bukumu !
baca... baca...” ucapku mensugesti diriku sendiri untuk tidak menyerah. Tanpa
bantuan dia pun aku pasti bisa mengerjakan tugas ini. Aku sudah memutuskan
untuk mengerjakan tugas itu sendiri.
***
Sepuluh hari sudah berlalu, deadline
mengumpulkan tugas tinggal empat hari lagi. Masalahnya sekarang, aku belum
membaca sepenuhnya buku Pak Heru. Setengahnya pun nggak sampai. Si gila. Ryan,
ndag muncul juga. Salahku juga sih sebenarnya, sampai sekarang aku belum
menghubunginya sekali pun, kertas yang berisi nomor handponenya, sudah aku
buang. Dan sekarang,,,, aku nyesel. Ngapain aku nyiksa diri kerjain tugas ini,
jelas-jelas ini tugas kami berdua, harusnya dari dulu aku sudah menghubunginya
dan memaksanya untuk mengerjakan tugas. Kalau tugas ini selesai tanpa campur
tangannya, enak di dia dong! Lulus karena hasil kerja kerasku. Tapi gimana cara
menghubunginya, aku bahkan lupa menanyakan kelasnya. Mekipun satu jurusan tapi
mustakil aku bisa menemukannya dengan cepat, diantara beribu mahasiswa bahasa
inggris di kampus.
“Kamu kenapa Ria ? kesambet ?” tanya Erly
sambil menatap aneh kearahku.
“Aku pusing nih Ly... kamu punya kenalan
nggak anak jurusan kita yang namanya Rian?”
“Ryan... Ryan...” katanya sambil
mengkerutkan keningnya dan berfikir. “Ada sih... yang pendek itu kan ? dekil...
hitam...” lanjutnya.
“Bukaaan,,, orangnya tinggi, putih, dan
lumayan keren sih...”
“Emangnya kenapa? kamu lagi dekat ya ma dia?”
“Ah nggak gitu. Emangnya, kalau nanyain
orang harus yang lagi dekat gitu?”
“Nggak juga sih, tapi emangnya kenapa sih ?
tumben kamu nanyain cowok..” katanya sambil cekikikan.
“Maksud LOE ? emang kamu kira aku nggak
tertarik ma cowok?”
“Yah... kali aja...” lanjutnya dengan nada
mengejek.
“Sembarangan... Nggak, minggu lalu aku ma
Ryan dikasi tugas ma Pak Heru harus dikumpul empat hari lagi dan masalahnya,
aku nggak tau mesti cari dia dimana. Sebenarnya sih aku malas ketemu ma dia
tapi, mau gimana lagi...” jelasku panjang lebar.
“Ohhh...”
“Kok Cuma Ohh doang... bantuin dong!”
“Mau dibantuin apa? Nyari Ryan?”
“Kalau bisa sih... Emmm, atau gimana kalau
kamu bantuin aku aja kerjain tugas. Itu kan jauh lebih baik daripada aku harus
ketemu ma dia lagi”
“Enak aja... Aku juga masih punya banyak
tugas yang perlu dikerjain.” Balasnya sambil tersenyum. Itu tandanya dia
bohong, palingan cuma malas aja.
“Tega banget sih, tersenyum diatas
penderitaanku... Kamu kan sahabat terbaikku”
“Gombal... Mendingan sekarang kamu berdiri
dari tempat dudukmu itu dan bersiap mencari pangeranmu itu” katanya sambil
tertawa ngakak.
“Pangeran apaan? Derita itu mah...”
Kami berjalan menyusuri koridor-koridor
kampus, karena bingung harus mencari dimana jadi kami hanya berkeliling dan
berharap bisa menemukan batang hidungnya Ryan. Hampir semua kelas bahasa
inggris kami masuki, tapitetap tidak menemukannya. Seandainya lantai kampus
bisa bicara, pasti diasudah bilang ‘Berhenti,,, kalian udah kayak setrikaan aja
bolak-balik mulu’. Karena sudah lelah kami kembali keruangan kelas dan menunggu
dosen selanjutnya. Aku kayaknya salah berharap, Ryan itu model-model mahasiswa
yang malas mengikuti perkuliahan, mana mungkin aku bisa mendapatinya di kampus
pagi-pagi begini.
Aku mengikuti perkuliahan tanpa focus
ditambah dosen yang mengajar tidak menarik perhatian. Pagi-pagi begini
mendengarkan dosen yang menjelaskan pelajaran dengan suara yang sangat pelan,
membuatku serasa mendengar music intrumental yang seakan-akan mengantar alam
bawah sadarku untuk menghanyal, lebih tepatnya memikirkan hal yang lain. Pikiran
yang menjalar kesana kemari untuk menemukan solusi yang tepat.
Akhirnya aku rugi sendiri, mengikuti
perkuliahan tanpa memperhatikan pelajaran hanya membuatku lelah dan
membuang-buang waktuku. Harusnya, aku lebih focus tadi. Huff... penyesalan
selalu datang belakangan. Keluar kelas dengan pikiran kosong, melangkah tanpa
semangat. Tapi, seseorang membangunkanku dengan menarik tas punggung yang aku
pakai. Membuat hampir jatuh kebelakang, untungnya aku masih bisa menjaga
keseimbanganku.
“Siapa sih ?” teriakku marah sambil menoleh
kebelakang dan menghentakkan tangan yang menarik tasku. Sosok manusia yang
ditangkap oleh retina mataku membuatku hampir jatuh tersungkur.
“Ryan...! Apa-apaan sih, main tarik aja.
Emangnya kamu nggak fikir apa ? Aku bisa saja jatuh gara-gara kamu” Omelku
sambil mentapnya tajam.
Dia tidak menjawab, hanya mengangkat
bahunya. Tapi aku mengerti apa yang ada dipikirannya, ‘So ? masalah buat gue?’
pasti kata itu yang ada di dalam otaknya.
“Gimana tugasnya? Udah selesai belum?”
tanyanya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Setidaknya, dia kan harus minta maaf.
“Belum...” ucapku kemusdian melangkah
pergi. Dia terus mengikut dibelakangku tanpa sedikitpun ekspresi bersalah.
Dengan santainya berjalan disampingku.
“Mau dibantu nggak kerjain tugas?” tanyanya
datar. Aku tidak menjawab, bahkan menoleh kearahnya saja tidak. Aku sudah cukup
jengkel dengan tingkahnya yang semau jidatnya.
“Mau nggak dibantu?” tanyanya lagi.
“Mau nggak?” tanyanya lagi tanpa mengubah
intonasi suaranya. Tetap datar.
“Ya udah... gue duluan. Bye” katanya dan
kemudian berbalik pergi.
Dia pergi. Hah... ngeselin banget. Tapi,
Ria... apa yang kamu lakukan? Emangnya kamu mau kerjain tugas sendiri? Mana
sempat, cuma tersisa empat hari aja. Nyusahin banget sih ini orang. Tapi mau
gimana lagi, aku harus mengejarnya. Dia berjalan lumayan cepat juga, aku harus
berlari-lari kecil untuk mengejarnya sampai aku berada dibelakang punggungnya.
“Ryan...” panggilku lirih. “Jadi, kapan
kita bisa kerjain tugasnya?” kataku dengan penuh paksaan. Menahan semua rasa
gengsi yang ada dihatiku. Tadinya aku yang tidak menghiraukannya, malah
mengejar-ngejarnya.
“Ryan...” panggilku lagi. Orang ini nggak
dengar atau sengaja untuk tidak mendengar.
“Ryan...” panggilku lagi sambil menarik
keras tas punggung yang dipakainya.
“Aduh!!!” katanya sambil berbalik
melihatku, dan kemudian mengerutkan keningnya.
“Ngapain ikutin gue? Tadi udah nyuekin gue”
“Jadi kapan kita bisa kerja tugasnya?”
tanyaku ketus.
“Terserah loe aja”
“Kita Cuma punya waktu empat hari doang,
jadi lebih cepat lebih baik”
“Yah udah. Sekarang aja.”
“Aku nggak bisa sekarang, aku harus pulang
cepat” kataku, “Besok aja” lanjutku.
Aku pergi setelah bertukar nomor handphone.
Aku harus sedikit sabar menghadapi orang seperti ini. Daripada harus mengulang
mata kuliah Pak Heru tahun depan, lebih baik aku bersabar menghadapi Ryan,
lagipula cuma empat hari.
“Semangat Ria...” ucapku pada diriku
sendiri. Kayaknya malam ini aku akan tidur nyenyak. Pikirku sambil melangkah
pergi.
Benar juga, pukul 09.00 aku sudah berbaring
diatas kasur empukku dan bersiap untuk tidur. Rasa kantuk sudah menyergapku.
Good night Ria.
“Ada sms... ada sms.... ada sms”
handphoneku berdering, nggak aku hiraukan
“Ada sms... ada sms... ada sms” handphoneku
berdering lagi.
Siapa yang ngirim sms tengah malam gini?
Kuraih handphoneku dan mencoba membuka mata perlahan.
‘Besok
di kontrakan gue. Anggrek Permai, Pondok Putra No.18, jam 10 pagi’
Pesan dari Ryan. Kulirik jam wekerku,
sekarang sudah jam 3 pagi.
“Sadar nggak sih itu orang? Ngapain ngirim
pesan tengah malam gini? Gangguin tidur pulasku. Huhh... Ryan...” jeritku dalam
hati.
Karena tidurku diganggu oleh mahluk itu,
pagi ini mood-ku agak berantakan. Kalo dipikir-pikir, dia sudah terlalu
semena-mena padaku. Siapa dia? Apa harus aku yang mendatanginya untuk kerjain
tugas? Enak saja...
Kuraih handphoneku, dan ku-calling Ryan
“Halo?
Ryan?” kataku
“Iya...
Loe dimana sekarang? Udah terima sms gue semalam kan?” kata suara diseberang
sana.
“Iya,
udah. Tapi, bisa nggak kamu yang kerumahku soalnya....” belum sampai
omonganku...
“Nggak
bisa, gue nggak ada ongkos. Kiriman dari ortu belum datang, biasa.... derita
mahasiswa rantau” katanya cepat.
Kalau masalahnya kayak gini, aku harus
mengerti.
“Ohh
gitu... ya udah... aku kesana sekarang”
“Oke...
Eh, kalau bisa loe bawa makanan, snack. Gue nggak bisa mikir kalo nggak makan”
“Enak
aja...,emangnya aku ini...”
Tut...tut...tut.
Teleponku dimatikan.
Dia betul-betul semaunya saja. Tanpa malu
dia menyuruhku membawa makanan, harusnya kan tuan rumah yang nyiapin
makanannya, tamu adalah raja. Lah... dia? Malah menyuruh tamu yang bawa
makanan. Sabar...sabar... sabar Ria... cuma empat hari saja. Lagian mahasiswa
rantau belum dapat kiriman uang dari ortu, harusnya aku harus mengerti juga
sebagai mahasiswa. Itung-itung beramal, nolongin teman, bagi rezeki...hehehe.
Aku berdiri di depan rumah yang bercat
putih sambil menenteng kantongan yang berisi makanan. Rumah ini lumayan kecil,
tapi lumayan rapi dan bersih dari luar. Aku menekan bel beberapa kali.
“Loe udah datang? Ayo masuk” sosok Ryan
muncul dibalik daun pintu
“Iya...” jawabku sambil mengikutinya dari
belakang.
“Sorry yah, gue betul nggak bisa kerumah
kamu”
What? Sorry? Aku nggak salah dengar kan?
Apalagi yang ada dikepala anak ini?
“Iya... nggak papa kok.” Ucapku sambil
menyodorkan kantongan kearahnya.
“Maaf, merepotkan.” Katanya sambil
tersenyum lebar. Lebih tepatnya senyum karena malu, aku jadi ikut tersenyum.
“Silahkan duduk” katanya sambil ikut duduk
di ruang tamu.
Aku mengeluarkan buku-buku dan laptop dari
tasku. Ryan sibuk membolak-balik buku dari Pak Heru sambil sesekali tersenyum.
“Aku udah kerjain sampai bagian ini, kamu
tinggal lanjutin aja” kataku sambil menunjuk bagian yang telah aku kerjakan.
“Ohh... oke. Loe yang ngetik yah, biar gue
yang bacain”
“Ada tamu rupanya?” seorang cowok muncul
dari dalam kamar. “Ria? Cewek yang dikantin itu kan? Lanjutnya.
“Iya...” jawabku lirih. Cowok itu Dodi.
Teman Ryan yang ketemu dikantin waktu itu.
“Gue mau ke kampus dulu, Loe yang baik ma
tamu” katanya bercanda sambil mengelus kepala Ryan
“Apaan sih loe? Udah pergi sana” ujar Ryan
sambil menepis tangan Dodi.
“Ria, hati-hati yah? Biasanya dia nggak
pernah bawa cewek kesini. Loe itu tamu cewek pertama yang dia bawa kesini, gue
curiga dia....”
“Apaan sih loe Dod, gue ini lagi kerja
tugas! Nggak liat? Pergi sana!” ujar Ryan
“Ya udah, gue pergi. Gue nggak mau gangguin
loe.” Kata Dodi sambil tertawa lebar.
“Woi... pintunya loe buka aj, nggak usah
ditutup” teriak Ryan.
“Jangan loe ambil hati, teman-teman gue
emang kayak gitu, agak miring” lanjutnya menatapku sambil memiringkan telunjuk
didepan jidatnya.
“Nggak papa kok” jawabku.
Ryan lumayan baik sejauh ini, mudah-mudahan
terus aja baik kayak gini. Ternyata otaknya lumayan encer juga. Kelihatannya
dia jauh lebih banyak mengerti mengenai isi buku itu dibanding aku. Baguslah...
tugasnya kayaknya bisa rampung tepat waktu.
“Sini gue gantiin...” katanya sambil
menarik laptop kehadapannya. “Istirahat aja dulu”
“Nggak usah, aku bantuin kamu aja” kataku.
Mana mungkin aku istirahat disini, nanti aku bisa saja ketiduran. Ryan kan
orang yang baru aku kenal. Siapa yang jamin dia nggak bakalan ngapa-ngapain
aku.
Aku hanya mengawasinya mengerjakan tugas.
Kalau diperhatikan, ternyata Ryan cute juga, meskipun rambutnya agak
berantakan, tapi kulitnya bersih dan giginya juga rapi. Matanya bulat
bercahaya.... tunggu... kayaknya aku tidak asing dengan wajahnya. Apa mungkin
aku pernah bertemu dengannya sebelumnya? Atau mungkin ada orang yang mirip
dengannya? Ah... tau ah.
“Ngapain loe bengong sambil ngeliatin gue?
Baru sadar kalau gue itu cute?” ternyata Ryan memperhatikanku yang sedang
menatapnya.
“Apaan... narsis banget” ucapku tanpa
menimpalinya lanjut, pasti sekarang wajahku sudah semerah tomat.
“Mending loe baca nih buku daripada
mandangin gue terus, nanti loe jatuh cinta lagi ma gue, kan ribet jadinya”
katanya sambil menyodorkan novel
kearahku.
“Pede amat...” ujarku dan kemudian
mengambil novel itu dari tangannya dan mulai membacanya.
Aku menikmati ceritanya, lumayan seru sih.
Tapi kenapa penglihatanku buram? Mataku perih, dibuka pun susah... ada apa
dengan mataku? Dan, semuanya berubah menjadi gelap.
*bersambung...*
0 komentar:
Posting Komentar